Friday, May 24, 2013

Rectoverso ala Epoy

Rectoverso. Akhirnya nonton juga! Tahun 2008, gw jatuh cinta banget sama buku bersuara ala Dewi Lestari yang dikasih judul Rectoverso. Kesepuluh lagunya, kesepuluh cerita pendeknya, aih.. cinta banget! Kemarin gw akhirnya berhasil menikmati Rectoverso, filmya, yang dipercantik oleh lima perempuan  tidak biasa bernama Marcela Zalianty, Rachel Maryam, Olga Lydia, Happy Salma, dan Cathy Sharon.

Lima tahun setelah pembuatan, gw masih jatuh cinta sama Rectoverso. Malaikat Juga Tahu, Aku Ada, dan Peluk. Itu tiga lagu dan cerita yang jadi kesukaan gw dari Rectoverso. Hmm.. satu lagi sih. Itu tuh Lukman Sardi. Damn, he's so charming! ^__^  Dulu, gw dan Gregorius Magnus Finesso, sahabat gw, ga akan beranjak dari kost masing-masing sebelum nonton video klip Malaikat Juga Tahu. Walau singkat, video musik itu sukses mengubek-ubek emosi jiwa.   

Tahun 2013, Rectoverso menjelma menjadi film omnibus. Ada lima cerita, dari total sepuluh cerita ,di dalam Film Rectoverso. Jalur kelima cerita tetap sama. Banyak nama-nama handal yang menjadi tokoh di depan dan juga di balik layar. Pemeran cameonya pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Berbagai selebritas hingap sesekali di sana dan di sini. Seharusnya film ini keren. Gw yakin film ini bakal sukses mengubek-ubek emosi. Sinematografi film ini sih juga mantep. Indah! Tapi ternyata ubekannya nanggung. Seperti biasa, Rectoverso lebih mampu mengekspresikan segenap jiwa yang berada dalam sebuah buku dan lantunan lagu. 



Film diawali dengan adegan Lukman Sardi yang memainkan biola lalu memeriksa piramida sabunnya. Gw langsung ngeh pasti ini Malaikat Juga Tahu. Lukman Sardi, si Abang, merupakan penderita keterbelakangan mental. Abang tinggal bersama Bunda yang membuka kost bagi pekerja muda di Jakarta. Keterbatasan tidak membuat Abang terlihat menderita. Abang mampu membantu pekerjaan rumah tangga di sela-sela rutinitasnya yang tidak biasa. Kehadiran Lea, salah satu penghuni kost Bunda yang diperankan oleh Prisia Nasution, memberikan arti luar biasa bagi Abang. Lea sangat sabar dan begitu memahami jiwa Abang. Abang pun jatuh cinta. Namun cintanya yang begitu besar terhadap Lea terbentur kehadiran Hans, adiknya Abang yang sempurna dan manis. Hans mencintai Lea dengan segala keindahan dalam diri Lea. Sedangkan Abang, dia mencintai Lea dengan sepenuh hati dan jiwa. Pertemuan akting Lukman Sardi, yang walau menurut gw agak sedikit kurang greget menjiwai karakter penderita keterbelakangan mental, dan Prisia Nasution bisa jadi kunci utama pencapaian klimaks cerita. Adegan ketika Lea membaca secarik kertas berisi tulisan Abang menjadi titik poin yang sukses membuat gw tercabik-cabik. Aihh....

"Seratus sempurna
 Kamu satu tapi lebih dari sempurna"


Cerita kedua, yang muncul dengan alur berlompatan, berjudul Firasat. Dalam cerita ini, Asmirandah, Dwi Sasono, dan Widyawati beradu argumentasi tentang firasat. Mereka berdua memang anggota klub firasat yang bahu-membahu menghadapi firasat dalam kehidupan. Menurut Panca, firasat merupakan cara alam untuk berkomunikasi dengan manusia. Sayangnya banyak manusia yang mengacuhkan percakapan dengan alam padahal sebenarnya manusia itu terlahir dari alam. Senja sebenarnya jengah dengan firasatnya. Dia benci dengan naluri untuk bisa mendeteksi hal buruk yang akan terjadi kepada orang lain di sekitarnya. Dia benci karena tidak bisa melakukan hal apapun untuk membatalkan peristiwa buruk. Kebencian yang berlebihan sehingga Senja tidak bisa bersiap-siap ketika firasat buruk itu ternyata ditujukan kepada dirinya. Filosofis yang dalam bahasa dan cerita yang sederhana penuh arti.

"Apapun yang akan terjadi memang harus terjadi. 
Terkadang, menerimanya merupakan satu-satunya cara untuk memahaminya. 
Semua pasti akan baik-baik saja.."

Cerita ketiga bercerita tentang persahabatan antara Acha Septriasa sebagai Amanda dan Indra Birowo sebagai Reggie. Curhat untuk Sahabat. Amanda dan Reggie menjalani persahabatan yang lama. Reggie selalu setia menjadi sahabat Amanda dengan segala kisah cintanya. Sampai akhirnya Amanda sadar bahwa seorang sahabat dengan segelas air di tangannya terasa jauh lebih berharga dari puluhan kekasih yang berprestasi. Entah telinga gw yang agak tersumbat, menurut gw Acha kurang greget menyanyikan lagu Curhat untuk Sahabat. 

Pada cerita keempat, Sophia Latjuba sukses berat membawakan peran Saras dalam Cicak di Dinding. Seksi, sederhana, dan elegan. One night stand antara Saras dan Taja berujung kegalauan jiwa. Cicak menjadi ornamen yang eksotik namun tidak sensual. Padahal di sana ada Tio Pakusadewo, the sexy man. 

"Cicak itu binatang yang penuh kesetiaan. 
Terus setia menempel di dinding walau dia sering diacuhkan manusia.
Padahal cicak terus ada di sana untuk menjaga manusia dari nyamuk"

Terakhir, ada Hanya Isyarat. Cerita tentang kelompok backpacker yang rutin berpetualang ke berbagai tempat. Mereka kerap menghabiskan waktu bersama. Sampai akhirnya, Al jatuh cinta kepada Raga yang hanya bisa dia pandangi bagian punggungnya saja. Namun ternyata Raga memiliki suatu rahasia besar sehingga Al tidak akan bisa mendapatkan cinta Raga. Namun Al sudah puas. Setidaknya, dia pernah merasakan pancaran mata coklat muda Raga walau hanya sebentar. Itu sudah lebih dari cukup. Hidup punggung!

Oiya, pengisi lagu di film Rectoverso juga bagus lho! Ada lima lagu ciptaan Dewi Lestari yang menjadi soundtrack setiap ceritanya. Nuansa jazz dan akustik membuat setiap kata dalam lagu terasa lebih menohok hati. Terimakasih ya Glenn Fredly, Drew, Raisa, dan Dira Sugandhi untuk versi baru lagu Rectoverso. Keren.. Keren... Sadis!


***


Thursday, May 23, 2013

Damai bukanlah lawan dari perang

Damai bukanlah lawan dari perang


Hati damai bisa tetap menjadi milik kita walaupun kita berada di tengah pertempuran-pertempuran yang paling dahsyat, sebab kita berjuang untuk menjadi mimpi-mimpi kita. Saat teman-teman kita telah hilang harapan, damai Pertempuran yang Baik membantu kita untuk terus berjuang.

Seorang ibu yang bisa memberi makan anak-anaknya, sorot matanya tampak damai, meski kedua tangannya gemetar karena diplomasi telah gagal, bom-bom berjatuhan, dan tentara bergelimpangan.

Seorang pemanah yang menarik tali busurnya merasa damai di dalam benaknya, walaupun seluruh ototnya tegang karena mengerahkan fisiknya.

Karenanya, bagi Ksatria Cahaya, damai bukanlah lawan dari perang, sebab mereka sanggup untuk membedakan antara yang sementara dan yang kekal. 

Bagi Ksatria Cahaya, tidak ada keniskalan. Setiap peluang untuk bertransformasi berarti peluang untuk mengubah dunia. 

Bagi Ksatria Cahaya, tidak ada kata pesimis. Bilamana perlu, dia akan mendayung melawan arus; supaya setelah lelah dan lanjut usianya, bisa dikatakn kepada cucu-cucunya bahwa dia datang ke dunia ini untuk belajar lebih memahami tetangganya, bukan untuk menghukum saudaranya.

Rest in Peace Woman
taken from www.layoutsparks.com


Dikutip dari "Seperti Sungai yang Mengalir"
Berdasarkan Pidato Paulo Coelho pada 
Pertemuan Damai di tepi Laut Mati, Yordania,21 Juni 2003

Menit-Menit Terakhir Timor Timur

Catatan menggemaskan di sebuah milis FDWB. Ahh, mesakke bangsaku!

Tulisan seorang kawan wartawan yg meliput jajak pendapat di Dili. Selamat hari Kebangkitan Nasional...
Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak. Tentang sebuah perampokan dan penipuan yang dilakukan oleh IMF, PBB, dan negara-negara kapitalis. Tentang sebuah kebodohan besar yang dilakukan para pejabat Indonesia . Poor Timor Timur, poor Indonesia … Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. ———

Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia Oleh: Kafil Yamin
Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia . Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu. Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank

Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim. Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?

Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].

Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia . Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia . Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia . Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia . Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia , hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia . Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia , demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok . Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya. “Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat. Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu. “Panggil saja saya Laffae,” katanya. “Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran. “ Timor . Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.

Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya. Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya. Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran. “Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”

Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang. Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas. Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.

(2) Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok . Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius. Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.

Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota . Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.

Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia , yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi . Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan. Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi. Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia . Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.

Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.

Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya: “Kafil, we can’t run the story,” katanya. “What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi. “We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya. “That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi. “Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?” “Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,” “I think we still can run the story but we should change it.” “ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan. Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.

(3) Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanya kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia : “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.

Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Bunda Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi. Indah. Sangat indah. Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia . Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang.

Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali ke penginapan, saya bertemu lagi dengan Laffae. Kali ini dia mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap rokok dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi sambil menikmati kopi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan .
Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.

Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen. Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, segar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal. “Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”

Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia . Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. Saya bilang ke Prabandari: “Saya bertahan. Tinggalkan saja saya.”
Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya. Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.

Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung. “Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan. “Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan. “Saya perlu lima ribu,” kata Laffae. “Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya. “Kita akan usahakan,” kata Armindo.

Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana . Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi. Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.
(4) Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.
Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.

Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.

Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.
Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.

Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua.

Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya. Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..” Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.

Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana . Itu pernah diucapkannya kepada saya. Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana. ***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.

Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.
Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.

Sore, 7 November, 1999, saya mendarat di Jakarta . (5) Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili. Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia . Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.
Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.

Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia .” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.

Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia . Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.

Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta , kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung . Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung . Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.

(6-akhir) 12 tahun beralu sudah. Apa kabar bailout IMF yang 43 milyar dolar itu? Sampai detik ini, uang itu entah di mana. Ada beberapa percik dicairkan tahun 1999-2000, tak sampai seperempatnya. Dan tidak menolong apa-apa. Yang terbukti bukan mencairkan dana yang dijanjikan, tapi meminta pemerintah Indonesia supaya mencabut subsidi BBM, subsidi pangan, subsidi listrik, yang membuat rakyat Indonesia tambah miskin dan sengsara. Anehnya, semua sarannya itu diturut oleh pemerintah rendah diri bin inlander ini.
Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.

Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat. Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun. Kenapa mau melepas Timtim dengan imbalan utang? Bukankan semestinya kompensasi? Adakah di dunia ini orang yang hartanya di beli dengan utang? Nih saya bayar barangmu. Barangmu saya ambil, tapi kau harus tetap mengembalikan uang itu. Bukankah ini sama persis dengan memberi gratis? Dan dalam kasus ini, yang dikasih adalah negara? Ya , Indonesia memberi negara kepada IMF secara cuma-cuma.
Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang. Sampai hari ini Indonesia masih menyicil utang kepada IMF, untuk sesuatu yang tak pernah ia dapatkan. Saya harap generasi muda Indonesia tidak sebodoh para pemimpin sekarang. (27 Januari 2011).

Sent from my iBBerry
powered by Bismillah

Sunday, May 12, 2013

What I learned in life is…



That no matter how good a person is,
sometimes they can hurt you; 
because of this we must forgive.
It takes years to build trust and only seconds to destroy it ..
We don’t have to change friends if we understand that friends change..
The circumstances and the environment influence on our lives,
but we are the one who responsible for ourselves..
That you have to control your acts or they will control you..
That patience requires much practice.. 
that there are people who love us,
but simply don’t know how to show it..
That sometimes the person you think will hurt you and make you fall..
Is instead one of the few who will help you to get up..
You should never tell a child that dreams are fake, 
it would be a tragedy if they knew..
It’s not always enough to be forgiven by someone,
in most cases you have to forgive yourself first..
That no matter in how many pieces your heart is broken, 
the world doesn't stop to fix it ..
May be God wants us to meet all the wrong people first 
before meeting the right one..
So when we finally meet the right one we are grateful for that gift ..
When the door of happiness closes, another door opens..
but often we look so long at the closed one.. we don’t see what was open for us ..
The best kind of a friend is the kind in which you can sit on a porch and walk…
Without saying a word & when you leave it feels it was the best conversation you ever had.
It’s true we don’t know what we have until we find it, but its also true,
we don’t know what we’ve been missing until it arrives..
It only takes a minute to offend someone, an hour to like someone,
a day to love someone, but it takes a life time to forget someone.
Don’t look for appearances, they can be deceiving, don’t go for wealth even that can fade,
Find someone who makes you smile, because it only takes a smile to make a day better,
find what makes your heart smile..
There are moments in life when you miss someone so much..
that you wish you can take them out of your dream and hug them for real..
Dream what you want, go wherever you want to go.. because you have only one life..
and one change to do the things you want to do ..
The happiest people don’t necessarily have the best of everything,
they just make the best of everything that comes their way.
The best future is based on the forgotten past..
You can’t go on well in life until you let go of your past failures and heartaches.


Saturday, May 11, 2013

Nasib Bahagia

"Kebahagiaan dalam pernikahan hanyalah masalah nasib. Kalaupun kedua belah pihak sudah saling mengetahui sifat masing-masing atau bahkan memiliki sifat yang sama sebelumnya, itu tidak menjamin mereka akan berbahagia selamanya. Perbedaan akan selalu tumbuh di antara mereka setelah mereka menikah, sehingga (mungkin) akan lebih baik jika kita lebih sedikit mengetahui tentang calon pasangan hidup kita."

~~Charlotte Lucas dalam obrolan dengan Elizabeth Bennet tentang pasangan hidup, Pride and Prejudice, Jane Austen..

untitled #29

It's May 11, 2013.
I am 29 years and 4 days old.
I have a 11 months mariage.
But still, it's so difficult for me to find the joy of being a wifey.
"Love of life", "partner of life", or "servant  of life".. ?
Yet, the single life is more suitable for me.
Maybe..
Could somebody help me..

Ah Madame  Thatcher, I am so jealous with you.. >.<