Pemuridan. Buat mereka yang aktif
di dunia persekutuan, kata “pemuridan” bukanlah hal yang asing. Biasanya, “pemuridan” justru menjadi salah satu program kerja terbesar
di dalam organisasi persekutuan yang notabene anggotanya cenderung sedikit
(baca:terbatas). Di luar dunia persekutuan, “pemuridan” merupakan satu kata
yang asing, banged!
Biar paham, pemuridan merupkan
proses pemberitaan tentang Yesus Kristus yang dilakukan dalam konsep
berkelompok. Jelasnya, pemuridan merupakan versi singkat tentang penjelasan
Matius 28:18-20. Ada tiga kata kuncinya : pergi, seluruh bangsa, dan murid.
Pendek kata, pemuridan merupakan proses menjadi murid dan memuridkan.
Pemuridan? Intinya belajar dong!
Hooh bener banget. Kristus sendiri ingin kita, pengikutNya, kenal siapa
Kristus. Jangan hanya jadi “follower” tapi “know him more”. Caranya hanya satu,
ya belajar! Kita ga akan tahu cara menghitung kalau dulu sewaktu kecil tidak
dikenalkan matematika kan. (Abaikan soal faktor gen istimewa ala Einstein).
Oke deal, pemuridan itu adalah
proses belajar. Dunia yang tidak asing bagi anak sekolahan dan anak kuliahan.
Lumrah banget jika suasananya adalah institusi sekolah atau kampus. Abaikan
soal mereka yang “alergi” sama belajar tapi, terutama kampus, dua tempat itu
merupakan sarang para pemikir kritis. Belajar itu dunia mereka. Pertanyaan gw malam
ini, bisa ga sih “pemuridan” diimplementasikan di gereja?
Gereja merupakan sebuah komunitas
(orang Kristen) yang lebih kompleks. Jumlah kuantitas mah relatif banget ya.
Kompleks karena isi gereja itu beragam dari mulai anak bayi yang lucu-lucu
sampai para senior lansia. Bisa gitu konsep “pemuridan” dilakukan di gereja?
Mau gitu? Nemenin anak masing-masing untuk belajar aja banyak yang angkat
tangan. Nah, ini meminta jemaat untuk belajar?
Pertanyaan itu berputar-putar
kencang di kepala gw sejak pertama kali “kecemplung” di organisasi gereja.
Sebelumnya, gw lahir dan tumbuh besar di gereja tradisional asal Sumatra Utara
dengan jumlah jemaat menengah. Tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil
juga jumlahnya. Gw Kristen dari lahir, sekolah di Katolik, dan memang hobi baca
buku. Pengetahuan tentang Kristen udah “ngelotok” banget. Tapi baru sekitar 16
tahun tahun setelah lahir, gw bener-bener berjumpa secara pribadi sama Kristus.
Masa SMA menjadi momen astral pertama gw. Ayeeh… Euforia itu diperlengkapi
dengan pola pemuridan yang (terpaksa) gw ikutin ketika kuliah di Jatinangor,
Sumedang tersayang. Perkantas Jatinangor menjadi rumah bagi gw bertumbuh. The
end of pemuridan ala epoy? no way! Stuck iya.. Hehehe..
Sekarang gw “kecemplung” dan
mencemplungkan diri di gereja yang heterogen. Akhirnya momen pemuridan
dimunculkan kembali. Kontroversi hati banget memang. Hohohoho.. Hati masih
bertanya? Memang bisa? Gimana mulainya? Sama siapa? Kalau banyak yang tidak
setuju dan akhirnya bubar jalan gimandang? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan
yang temanya satu : khawatir.
Sah dong gw khawatir. Pemuridan
itu butuh komitmen dan kontinuitas. Sama kaya belajar matematika. Kalau ga mau
buta angka, ya kenali angka. Beuuh
beraatts! ini audiensnya heterogen banget. Lebih mudah mengumpulkan massa untuk
diajak nyanyi-nyanyi, makan-makan, arisan, foto studio, outbond (baca :
kongkow) ke pantai, atau acara heboh lainnya. Inisiatif bermunculan tanpa perlu
komando. Masih lebih mudah juga mengajak jemaat ikut ke acara yang agak lebih
susah seperti donor darah, jalan sehat, dan acara fisik lainnya. Tinggal
permainan publikasi yang atraktif dan sentuhan komunikasi interpersonal,
hasilnya oke! Lah ini nyuruh orang
belajar? Di usia yang sudah tidak muda lagi, dan kesibukan hidup yang luar
biasa. Belajar alkitab lagi! Denger kata pendalaman alkitab aja udah alergi (it
happens in my big family too). Bisa ga ya pemuridan dilakukan di gereja?
Pada akhirnya sedikit demi
sedikit gw dikasih pencerahan sama Tuhan. Terimakasih Tuhan, gw dipaksa mulai
mempersiapkan hati di Pre Conference IDMC Januari 2015. Inti materi pada sesi
Surabaya Leadership Training lalu : are you ready for stand up for Christ? Gandengan
tangan dari para pemimpin gereja akan berpengaruh besar bagi kesuksesan
pemuridan. Karena, gereja yang sehat itu adalah gereja yang bertumbuh. Dan, bertumbuh itu ga hanya ke samping tapi ke
dalam. Bukan hanya bangunan gereja yang bertambah besar, atau jumlah jemaat
yang bertambah, atau program kerja yang bombatis, atau besarnya nominal uang
yang berputar di suatu gereja. Yuk mari menjadi murid! Mari Epoy KTB lagi. Belajar
juga dari Cherishta. Belajar juga dari Permen. Belajar juga dari Pra Remaja.
Dalam nama Tuhan Yesus, program
pemuridan di Pos Jemaat Adisucipto dimulai..
“Karena pemuridan bukanlah
program kerja semata, melainkan sebuah gaya hidup!” – IDMC 2015
Berbah, 2015
No comments:
Post a Comment