Catatan menggemaskan di sebuah milis FDWB. Ahh, mesakke bangsaku!
Tulisan seorang kawan wartawan yg meliput jajak pendapat di Dili. Selamat hari
Kebangkitan Nasional...
Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun
sekaligus membuat dada sesak. Tentang sebuah perampokan dan penipuan yang
dilakukan oleh IMF, PBB, dan negara-negara kapitalis. Tentang sebuah kebodohan
besar yang dilakukan para pejabat Indonesia . Poor Timor Timur, poor Indonesia …
Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok,
yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak
Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in
East Timor], 30 Agustus 1999. ———
Menit-Menit yang Luput dari Catatan
Sejarah Indonesia Oleh: Kafil Yamin
Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan
tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal
kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991.
Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia . Ketika krisis
moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia
terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik;
dan terjadilah jajak pendapat itu. Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan
oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya
melepas Timor Timur. IMF dan Bank
Dunia bersedia membantu Indonesia
lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas
Timtim. Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat
itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun
meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak
pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia
dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak
pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar.
Hebat bukan?
Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat
di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang
di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang
Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu,
akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi.
Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah
mencari orang yang pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota
Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama:
lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para
pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi
Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih],
Aitarak [Duri].
Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor
Timur akan tetap bersama Indonesia . Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam
hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa
benar-benar terpisah dari Indonesia . Semua orang Timtim kebanyakan
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia . Para penyedia barang-barang kebutuhan di
pasar-pasar adalah orang Indonesia . Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di
sekolah dan universitas Indonesia , hampir semuanya dibiayai pemerintah
Indonesia . Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia ,
demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.
Selepas magrib, 28
Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi
dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat
gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya;
duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok . Rupanya ia pun hendak menikmati rokok
dan kopi.
Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya. “Dari Jakarta,” jawabku,
sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat. Entah
kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan
dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut
semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama
Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan
tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak
makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan
kematangan itu. “Panggil saja saya Laffae,” katanya. “Itu nama Timor atau
Portugis?” Saya penasaran. “ Timor . Itu julukan dari kawan maupun lawan.
Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.
Julukan itu muncul karena sebagai
komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan
merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap
semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti
itu dimiliki buaya. Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan,
tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi.
“Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah
nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya.
Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali
dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara.
Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres?
Sering berhubungan?” saya penasaran. “Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau
ketemu, salam saja dari saya.”
Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai
betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai
karena kantuk kian menyerang. Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya.
Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari
pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah
lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas. Sambil berjalan
menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak
pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres,
Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.
(2) Pagi
tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari
itu saya harus kirim laporan ke Bangkok . Namun sebelum keliling saya mencari
rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman.
Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang
dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia
memang orang penting – tapi misterius. Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa
orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua
lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan
sekarang ini,” tambahnya.
Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan
melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai
tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut
keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat
polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota . Saya pun mulai
sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi
kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo,
Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari
berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang
kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan
adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan.
Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang
pro-integrasi yang dilibatkan.
Yang bikin suasana panas di kota yang
sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan
pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat.
Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke
sektratriat. Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran
mental orang-orang LSM dari Indonesia , yang kebanyakan mendukung kemerdekaan
Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat,
baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat
Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan
polisi . Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan. Tambah
kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih.
Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan
anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar
pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi. Saya pun harus mengungkapkan
ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET
menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak
pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan
Indonesia . Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan
itu.
Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal
praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang
bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi
wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan
Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau
praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup
banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya
rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.
Setelah
konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi
utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga
melengkapinya dengan pemantauan langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya
kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya: “Kafil,
we can’t run the story,” katanya. “What do you mean? You send me here. I do the
job, and you don’t run the story?” saya berreaksi. “We can’t say the UNAMET is
cheating…” katanya. “That’s what I saw. That’s the fact. You want me to
lie?” saya agak emosi. “Do they [pro-integrasi] say all this thing because they
know they are going to loose?” “Well, that’s your interpretation. I’ll make it
simple. I wrote what I had to and it’s up to you,” “I think we still can run
the story but we should change it.” “ I leave it to you,” saya menutup
pembicaraan. Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena
teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
(3) Pagi 30
Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS,
para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu.
Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.
Karena
dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya
sedang mengatur barisan padahal sedang kampanya kasar. Kebetulan mereka bisa
bahasa Indonesia : “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule
kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga
melakukan hal yang sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang
sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir
saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera
mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim
laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman,
melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.
Sampailah saya di
pantai agak ke Timur, di mana patung Bunda Maria berdiri menghadap laut, seperti
sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar.
Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan
melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan
berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu
pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga
tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu
tinggi. Indah. Sangat indah. Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun
pemerintah Indonesia . Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya
politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang.
Selepas
magrib, 30 September 1999. Kembali ke penginapan, saya bertemu lagi dengan
Laffae. Kali ini dia mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi
baris asap rokok dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi sambil menikmati
kopi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui
Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah penginapan
kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan
dari Pakistan .
Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan
‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau
setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas
bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami
berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian
cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih
cepat. Tidur.
Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di
hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk
kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen.
Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat
rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari
mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat.
Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini
tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki
pejuang, segar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk
menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan
apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir
dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau
kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap
normal. “Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah
kosong, UNAMET mau apa.”
Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia
memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer
Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia . Saya
diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung
jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya
butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. Saya bilang ke
Prabandari: “Saya bertahan. Tinggalkan saja saya.”
Laffae menguping
pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah
lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya. Saya lantas keluar,
melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang
kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum
Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut
organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.
Kembali ke
penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi.
Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung.
“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan
barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya
mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan. “Paling-paling kita bisa siapkan seribuan
orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama
peliputan. “Saya perlu lima ribu,” kata Laffae. “Ya, lima ribu baru cukup untuk
mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya. “Kita akan
usahakan,” kata Armindo.
Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan
mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur
Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana . Sekitar jam 7 malam,
saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares
berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat
karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi. Setelah ikut makan enak,
saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan
Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya,
penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi
UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan.
Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan
frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan
capek, saya tertidur juga.
(4) Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00,
saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat
kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi
saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi,
tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah
mencekam.
Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa
boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan.
Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa
dikerjakan hari itu.
Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di
penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi
tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar
penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu
lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah
kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada
tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu
memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian;
dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar,
takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah
mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.
Sekitar jam 11
malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu
pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka
duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak
mengungsi via kapal laut.
Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi
bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut.
Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang
sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang.
Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya
makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian
minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil
kembali ke penginapan.
Pagi menjelang siang, tanggal 6 September
1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada
warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak
berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi,
sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua.
Orang-orang
pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat
dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya. Sekarang, saya jadi
teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat
kemarin: “Dili ini akan kosong..” Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu
lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan
ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya,
hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve
hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum
pro-kemerdekaan.
Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae
dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang
tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari
sana . Itu pernah diucapkannya kepada saya. Inilah hasil langsung jajak pendapat
yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu
sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana. ***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung
masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya
sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang
panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan
yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam
itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.
Bule-bule yang biasanya
tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga
kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada
saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang
beriman.
Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar
saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri
dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam
untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama
Laffae itu.
Sore, 7 November, 1999, saya mendarat di Jakarta . (5)
Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi.
Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun
hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili. Di kamp-kamp pengungsian Atambua,
keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda
gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam;
anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia
. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.
Pemerintah
negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka.
Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap
kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut
mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan
Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.
Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada
sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami
melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia .” Padahal,
mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk
kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.
Sementara itu, para
pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan
pemerintah dan militer Indonesia . Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini,
jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’,
tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis
kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat
absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih
tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka
hisap habis-habisan.
Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta ,
kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung .
Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung . Saya sangat senang.
Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia
baik-baik saja.
(6-akhir) 12 tahun beralu sudah. Apa kabar bailout IMF
yang 43 milyar dolar itu? Sampai detik ini, uang itu entah di mana. Ada beberapa
percik dicairkan tahun 1999-2000, tak sampai seperempatnya. Dan tidak menolong
apa-apa. Yang terbukti bukan mencairkan dana yang dijanjikan, tapi meminta
pemerintah Indonesia supaya mencabut subsidi BBM, subsidi pangan, subsidi
listrik, yang membuat rakyat Indonesia tambah miskin dan sengsara. Anehnya,
semua sarannya itu diturut oleh pemerintah rendah diri bin inlander ini.
Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana
pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan
akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit
tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin
sengsara, peduli amat.
Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta
pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga,
BCA, Telkom, Indosat. Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar
dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu,
seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman.
Apa bedanya dengan dana fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah
Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun.
Kenapa mau melepas Timtim dengan imbalan utang? Bukankan semestinya kompensasi?
Adakah di dunia ini orang yang hartanya di beli dengan utang? Nih saya bayar
barangmu. Barangmu saya ambil, tapi kau harus tetap mengembalikan uang itu.
Bukankah ini sama persis dengan memberi gratis? Dan dalam kasus ini, yang
dikasih adalah negara? Ya , Indonesia memberi negara kepada IMF secara
cuma-cuma.
Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan
menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa
syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama
24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang. Sampai hari ini Indonesia
masih menyicil utang kepada IMF, untuk sesuatu yang tak pernah ia dapatkan. Saya
harap generasi muda Indonesia tidak sebodoh para pemimpin sekarang. (27 Januari
2011).
Sent from my iBBerry
powered by Bismillah
No comments:
Post a Comment