"Saya sudah duga, ini akibatnya setelah saya terlambat masukin A ke sekolah. Umur segini ga bisa apa-apa..."
Jika ada yang bertanya kapan sih waktu yang tepat untuk berhenti belajar, saya akan langsung dengan cepat menjawab : "Sampai nafas berakhir!". Nah bagaimana kalau sebaliknya?
Setiap orang punya jawaban beragam atas pertanyaan di atas. Pada awal tahun 1990-an mungkin jawabannya adalah TK nol kecil. Kelas tersebut menampung siswa-siswa termuda rakyat Indonesia. Masa kebebasan bermain anak mulai "terbelenggu" ketika dia berusia 4 tahun. Saat itu masyarakat seakan wajib memasukan anak ke taman kanak-kanak. Mereka yang tidak masuk TK kerap dianggap anak nakal, atau (yang agak naas tapi realistis) anak miskin. Maklum, biaya masuk sekolah bermain lumayan tinggi.
Tahun demi tahun berganti. Entah apa yang mengawali, sekedar gaya hidup atau memang tuntutan jaman, muncullah istilah kelompok bermain. Bahasa kerennya "playgroup". Dulu saya menganggap play group itu nama lain tempat penitipan anak. Tempat para orang tua pekerja menitipkan anaknya biar tidak menjadi liar. Liar dalam arti jadi "anak kampung" atau "anak pembantu".
Hehehe... Dua istilah ini lumayan sering terlontar di lingkungan sekitar saya. Anak kampung adalah sebutan bagi anak yang gemar bermain di luar rumah. Mereka cenderung kurang bisa berperilaku sopan karena alamlah yang menjadi guru mereka. Siapa kuat, dia hebat. Siapa lemah, dia lewattt... Sedangkan "anak pembantu" sering digunakan bagi anak yang menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan pengasuh. Alhasil si anak lebih menyerupai pengasuh ketimbang orang tua sendiri.
Terbiasa berada di daerah (sok) metropolis, saya menganggap pendidikan anak usia dini sebagai omong kosong. Pendidikan macam itu hanya seperti suap agar anak tidak "ngambek" karena orangtuanya lebih sering mencari duit dibandingkan bermain bersama buah hati. Untuk apa sih anak dimasukin ke sekolah di usia yang masih muda banget? Apa itu bukan upaya pembunuhan masa bermain anak?
Sampai akhirnya saya benar-benar berkenalan dengan pendidikan anak usia dini. Kita sebut saja PAUD, biar enak. Sampai akhirnya saya diperkenalkan dengab istilah golden age. Nantilah saya nulis khusus tentang usia keemasan itu. Intinya, golden age merupakan saat dimana anak menyerap segala sesuatu seperti spons. Dan katanya (iya katanya, blum nemu referensi pasti sih :p ), apapun yang dia serap-lihat-alami akan tertanam kuat sampai sang anak dewasa.
Ini bukan tulisan promosi sekolah tetapi upaya ajakan untuk mengajak anak belajar sedini mungkin. Bukan juga upaya mencekoki anak dari usia dini yaaa... Semua ada batasannya. Tidak semua anak mampu memiliki multiple intelegensi yang sempurna. Pasti ada yang menonjol dan ada yang kurang. Tinggal peka aja menganalisis keadaan anak tercinta.
Ingat, kesempurnaan cuman milik Sang Pencipta. Serem juga lagi punya anak yang sempurna.. Saya mau memakai ucapan seorang ibu bersahaja yang baru saja mendaftarkan anaknya di kelas saya.
"Saya berharap anak saya tidak berada di atas rata-rata anak normal. Untuk anak saya dibilang jenius tapi dikucilkan. Saya yang lebih menderita. Tolong berikan pendidikan yang pas ya. Tidak kurang. Tidak lebih. Saya yakin, sekolah lebih tahu caranya. Saya, bapaknya, neneknya, dan oranglain terkadang cuma sok tau aja.."
Jika ada yang bertanya kapan sih waktu yang tepat untuk berhenti belajar, saya akan langsung dengan cepat menjawab : "Sampai nafas berakhir!". Nah bagaimana kalau sebaliknya?
Setiap orang punya jawaban beragam atas pertanyaan di atas. Pada awal tahun 1990-an mungkin jawabannya adalah TK nol kecil. Kelas tersebut menampung siswa-siswa termuda rakyat Indonesia. Masa kebebasan bermain anak mulai "terbelenggu" ketika dia berusia 4 tahun. Saat itu masyarakat seakan wajib memasukan anak ke taman kanak-kanak. Mereka yang tidak masuk TK kerap dianggap anak nakal, atau (yang agak naas tapi realistis) anak miskin. Maklum, biaya masuk sekolah bermain lumayan tinggi.
Tahun demi tahun berganti. Entah apa yang mengawali, sekedar gaya hidup atau memang tuntutan jaman, muncullah istilah kelompok bermain. Bahasa kerennya "playgroup". Dulu saya menganggap play group itu nama lain tempat penitipan anak. Tempat para orang tua pekerja menitipkan anaknya biar tidak menjadi liar. Liar dalam arti jadi "anak kampung" atau "anak pembantu".
Hehehe... Dua istilah ini lumayan sering terlontar di lingkungan sekitar saya. Anak kampung adalah sebutan bagi anak yang gemar bermain di luar rumah. Mereka cenderung kurang bisa berperilaku sopan karena alamlah yang menjadi guru mereka. Siapa kuat, dia hebat. Siapa lemah, dia lewattt... Sedangkan "anak pembantu" sering digunakan bagi anak yang menghabiskan hampir seluruh waktunya dengan pengasuh. Alhasil si anak lebih menyerupai pengasuh ketimbang orang tua sendiri.
Terbiasa berada di daerah (sok) metropolis, saya menganggap pendidikan anak usia dini sebagai omong kosong. Pendidikan macam itu hanya seperti suap agar anak tidak "ngambek" karena orangtuanya lebih sering mencari duit dibandingkan bermain bersama buah hati. Untuk apa sih anak dimasukin ke sekolah di usia yang masih muda banget? Apa itu bukan upaya pembunuhan masa bermain anak?
Sampai akhirnya saya benar-benar berkenalan dengan pendidikan anak usia dini. Kita sebut saja PAUD, biar enak. Sampai akhirnya saya diperkenalkan dengab istilah golden age. Nantilah saya nulis khusus tentang usia keemasan itu. Intinya, golden age merupakan saat dimana anak menyerap segala sesuatu seperti spons. Dan katanya (iya katanya, blum nemu referensi pasti sih :p ), apapun yang dia serap-lihat-alami akan tertanam kuat sampai sang anak dewasa.
Ini bukan tulisan promosi sekolah tetapi upaya ajakan untuk mengajak anak belajar sedini mungkin. Bukan juga upaya mencekoki anak dari usia dini yaaa... Semua ada batasannya. Tidak semua anak mampu memiliki multiple intelegensi yang sempurna. Pasti ada yang menonjol dan ada yang kurang. Tinggal peka aja menganalisis keadaan anak tercinta.
Ingat, kesempurnaan cuman milik Sang Pencipta. Serem juga lagi punya anak yang sempurna.. Saya mau memakai ucapan seorang ibu bersahaja yang baru saja mendaftarkan anaknya di kelas saya.
"Saya berharap anak saya tidak berada di atas rata-rata anak normal. Untuk anak saya dibilang jenius tapi dikucilkan. Saya yang lebih menderita. Tolong berikan pendidikan yang pas ya. Tidak kurang. Tidak lebih. Saya yakin, sekolah lebih tahu caranya. Saya, bapaknya, neneknya, dan oranglain terkadang cuma sok tau aja.."
No comments:
Post a Comment