Bukan! Saya sedang tidak berbicara tentang teman SMP saya duli di Slamet Riyadi Jakarta. Hehehe.. Ini melainkan tentang Tanah Air Beta. Film terakhir Ari Sihasale dan istrinya, Nia Sihasale Zulkarnaen yang dirilis sekitar pertengahan Juni lalu. Judulnya diambil dari penggalan lagu Indonesia Pusaka. Font tulisannya Indonesia sekali. Merah dan putih. Btw, obrigado itu bahasa timor yang artinya terimakasih. Kata-kata ini banyak muncul dalam dialog makanya terngiang-ngiang terus sampai sekarang
Tanah Air Beta dan Tatiana
Filmnya dimulai dengan adegan pengungsian besar-besaran gara-gara Referendum. Sebagain warga memilih tinggal di wilayah Republik Indonesia dan sebagaian ke Republik Demokratik Timor Leste. Beberapa dari antara mereka ada seorang perempuan bernama Tatiana (diperankan oleh si sosialita cantik Alexandra Gottardo) dan anak perempuan berusia 10 tahun (Griffit Patricia). Mereka memilih tinggal di Indonesia namun sayangnya terpaksa meninggalkan Mauro (Marcel Raymond), kakak Merry, di rumah sang paman yang lebih memilih Timor Leste.
Sebagai ibu muda yang juga telah kehilangan suaminya, Tatiana berusaha keras untuk bertemu kembali dengan anak pertamanya. Berkali-kali dia datangan ke posko relawan di Mota ‘Ain agar bisa mengirim pesan kepada anaknya melalui para relawan (Lukman Sardi lhoooo….hihihi…cling-cling.. tapi dia cuman main figuran aja L ). Tatiana hanyalah satu dari ribuan orang yang berusaha berhubungan kembali dengan sanak keluarga yang terpisah gara-gara Habibie (hehehe…referendum kan keputusannya professor salah arah yang satu itu). Selain itu juga ada Abu Bakar (Asrul Dahlan). Dia mati-matian ingin bertemu dengan istrinya. Abu Bakar ini orangnya gokil buanget! Dia jadi penggembira suasana di sepanjang jalannya film. Akalnya panjang cenderung nyeleh tapi pede. Misalnya aja walau ga bisa baca tulis, dia kirim pesan nyentrik pake puisi dan lagu khas Timor lewat recorder relawan. Tapi saking panjangnya si relawan kabur di tengah pesan. Ada lagi yang duduls dari Abu. Waktu (stasiun pengisian bahan bakar umum) SPBU melarang pembelian bensin dengan jerigen tuh. Eh Abu ga kehabisan akal. Dia ngerubah tangki bensin motornya jadi segede jerigen. Wuahahahaha… bisa aja dah. Idenya diikuti orang lain. Warga sana jadi tetep bisa jualan bensin deh.
Dalam kesehariaannya Tatiana bekerja sebagi guru. Gilingan serius Alexandra beda banget dah di sini. Mungkin karena sudah terbiasa melihat dia dalam gaya hidup yang cosmopolitan sekali, saya jadi terkagum. Di sini dia tampil dekil dan kumuh namun tidak menyurutkan kecantikannya sama sekali. Tatiana mengajar sekitar 20 orang anak. Dua di antaranya Merry dan Carlo (Yehuda Rumbini). Musuh bebuyutan yang sering banget berantem. Carlo emang bandel namun menganggap Tatiana, Merry, dan Abubakar sebagai keluarganya sendiri. Maklum, dia yatim piatu. Bapaknya tentara. Tewas ketika bertugas. Sang mama meninggal karena tuberculosis.
Singkat cerita, Mauro sakit hati. Dia menanggap Tatiana sengaja meninggalkan dia di Timor Leste. Melaui relawan Mauro menitip pesan hanya ingin menemui Merry saja di Jembatan Air Mata. Hehehe namanya memang begitu karena di jembatan itulah para keluarga yang terpisah bisa saling bertemu. Di sana sarat dengan air mata akibat keputusan pemerintah Timor Leste untuk memerdekakan diri dari Indonesia.
Merry yang marah sekaligus kangen banget sama kakaknya nekat memutuskan pergi ke perbatasan dengan perbekalan seadanya. Lengkap dengan hadiah kaos oblong yang dibelinya dari Koh Ipin (Robby Tumewu) dan Cik Irene (Thesa Kaunang). Hihihi baru kali ini ngeliat orang Cina rela menjual barang dagangan seharga Rp50.000,00 hanya dengan Rp5.000,00. Udah gitu ngasih coklat sama air mineral pula. Jarang-jarang dah.
Duit Merry emang terbatas banget. Dia bahkan cuma bisa naik angkutan sampai setengah perjalanan saja. Sisanya dihabiskan dengan berjalan kaki. Padahal perjalanan dengan motor bisa memakan waktu 8 jam. Tatiana dan Abubakar yang panik minta tolong Carlo menyusul Merry sampai dapat. Carlo hebat lho! Perpaduan antara rasa bersalah, takut akan omelan Abubakar, dan rasa khawatir menjadi kekuatan buat Carlo menyusul Merry. Sebelumnya kemarahan Merry memuncak karena Carlo ‘nyemplungin’ harmonika kesayanganya ke danau. Padahal itu harmonika pemberian Mauro.
Carlo akhirnya menemukan Merry di perjalanan menuju Atambua. Walau sempat ngomel-ngomel, Carlo bertanggung jawab sekali sama Merry. Tingkah laku Carlo inilah yang jadi satu-satunya aksi heroik dalam film. Mulai dari membawa Merry yang pingsan ke puskesmas terdekat (yang jaraknya tidak dekat itu), nyolong air minum dan ayam taruhan, cuci piring biar bisa dapet makan dari warung, sampai memastikan Merry mau berjuang bertemu dengan kakaknya.
Selanjutnya garing. Pertemuan Merry dan Mauro dibuat-buat banget. Cara mereka bernyanyi “Kasih Ibu kepada Beta” waktu saling mencari satu sama lain terasa tidak natural sekali. Ga lama kemudian datanglah Abubakar dan Tatiana. Mereka saling senyum dan menangis bersama. Abis deh…
Tanah Air Beta dan Balibo
Entah karena dipanasi oleh film Balibo yang sempat membuat heboh orang Indonesia atau bukan, Ari Sihasale bilang udah punya ide bikin Tanah Air Beta sejak tiga tahun lalu. Tapi memang baru tahun ini kesampaian dirilis. Ga tau juga. Yang jelas Tanah Air Beta sama-sama mengambil setting tempat di daerah Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Timor Lorosae Cuman film yang satu ini jauh banget dari tema politik seperti di Balibo. Ga ada darah-darahan, tembak-tembakan, tending-tendangan, apalagi konspirasi militer. Sementara Balibo…beeuuhhhh… Mengungkap sisi lain suasana di Timor-Timor sih. Sayanya aja yang ga kuat menyaksikan teman-teman wartawan dibunuh dengan cara gitu.
Tanah Air Beta itu film keluarga banget. Tema yang diusung kekeluargaan. Setipe sama King, Denias, Garuda di Dadaku. Sangat ringan tapi ga tertalu garing. Ya walau endingnya tetep ga asik. Cocok juga lah untuk anak-anak (ah tapi sepertinya anak sekarang ga doyan film kaya gini)
Saya sendiri emang suka film Indonesia macam ini. Mungkin ada yang beranggapan saya childish, sok nasionalis, atau kampring. Hehehe..tapi bener saya lebih suka menyimak film macam ini dibandingkan Twilight Saga dan teman-temannya. Apalagi film pocong-pocongan dan paha-pahaan. Kagak dah. Mending nonton film anak-anak dibanding ABeGe labil. Hahay.. ini menurut saya yaa.
Eh sebenernya agak-agak kagum juga sih. Film ini dirilis sekitar sebulan lalu. Kemarin (12/7) pas saya menonton di Studio 21-nya Ambarukmo Plaza Jogja ternyata antusiasnya masih tinggi. Padahal sekarang kan liburan sekolah sudah habis. Setidaknya setengah isi bioskop terisi penuh. Kalau saya tidak salah lihat, beberapa dari antara para penonton memiliki ciri fisik dan intonasi bicara yang sama dengan Tatiana, Abubakar, Merry, dan Carlo.
Jadi inget bentar lagi 17 Agustus. Indonesiaku akan berusia 65 tahun. Hehehe walau penggemar berat Argentina, saya ini Indonesia bangetlah. Masih bangga bilang Garuda di Dadaku (dan Albiceleste di punggungku :P ).
Tanah Air Beta dan Tatiana
Filmnya dimulai dengan adegan pengungsian besar-besaran gara-gara Referendum. Sebagain warga memilih tinggal di wilayah Republik Indonesia dan sebagaian ke Republik Demokratik Timor Leste. Beberapa dari antara mereka ada seorang perempuan bernama Tatiana (diperankan oleh si sosialita cantik Alexandra Gottardo) dan anak perempuan berusia 10 tahun (Griffit Patricia). Mereka memilih tinggal di Indonesia namun sayangnya terpaksa meninggalkan Mauro (Marcel Raymond), kakak Merry, di rumah sang paman yang lebih memilih Timor Leste.
Sebagai ibu muda yang juga telah kehilangan suaminya, Tatiana berusaha keras untuk bertemu kembali dengan anak pertamanya. Berkali-kali dia datangan ke posko relawan di Mota ‘Ain agar bisa mengirim pesan kepada anaknya melalui para relawan (Lukman Sardi lhoooo….hihihi…cling-cling.. tapi dia cuman main figuran aja L ). Tatiana hanyalah satu dari ribuan orang yang berusaha berhubungan kembali dengan sanak keluarga yang terpisah gara-gara Habibie (hehehe…referendum kan keputusannya professor salah arah yang satu itu). Selain itu juga ada Abu Bakar (Asrul Dahlan). Dia mati-matian ingin bertemu dengan istrinya. Abu Bakar ini orangnya gokil buanget! Dia jadi penggembira suasana di sepanjang jalannya film. Akalnya panjang cenderung nyeleh tapi pede. Misalnya aja walau ga bisa baca tulis, dia kirim pesan nyentrik pake puisi dan lagu khas Timor lewat recorder relawan. Tapi saking panjangnya si relawan kabur di tengah pesan. Ada lagi yang duduls dari Abu. Waktu (stasiun pengisian bahan bakar umum) SPBU melarang pembelian bensin dengan jerigen tuh. Eh Abu ga kehabisan akal. Dia ngerubah tangki bensin motornya jadi segede jerigen. Wuahahahaha… bisa aja dah. Idenya diikuti orang lain. Warga sana jadi tetep bisa jualan bensin deh.
Dalam kesehariaannya Tatiana bekerja sebagi guru. Gilingan serius Alexandra beda banget dah di sini. Mungkin karena sudah terbiasa melihat dia dalam gaya hidup yang cosmopolitan sekali, saya jadi terkagum. Di sini dia tampil dekil dan kumuh namun tidak menyurutkan kecantikannya sama sekali. Tatiana mengajar sekitar 20 orang anak. Dua di antaranya Merry dan Carlo (Yehuda Rumbini). Musuh bebuyutan yang sering banget berantem. Carlo emang bandel namun menganggap Tatiana, Merry, dan Abubakar sebagai keluarganya sendiri. Maklum, dia yatim piatu. Bapaknya tentara. Tewas ketika bertugas. Sang mama meninggal karena tuberculosis.
Singkat cerita, Mauro sakit hati. Dia menanggap Tatiana sengaja meninggalkan dia di Timor Leste. Melaui relawan Mauro menitip pesan hanya ingin menemui Merry saja di Jembatan Air Mata. Hehehe namanya memang begitu karena di jembatan itulah para keluarga yang terpisah bisa saling bertemu. Di sana sarat dengan air mata akibat keputusan pemerintah Timor Leste untuk memerdekakan diri dari Indonesia.
Merry yang marah sekaligus kangen banget sama kakaknya nekat memutuskan pergi ke perbatasan dengan perbekalan seadanya. Lengkap dengan hadiah kaos oblong yang dibelinya dari Koh Ipin (Robby Tumewu) dan Cik Irene (Thesa Kaunang). Hihihi baru kali ini ngeliat orang Cina rela menjual barang dagangan seharga Rp50.000,00 hanya dengan Rp5.000,00. Udah gitu ngasih coklat sama air mineral pula. Jarang-jarang dah.
Duit Merry emang terbatas banget. Dia bahkan cuma bisa naik angkutan sampai setengah perjalanan saja. Sisanya dihabiskan dengan berjalan kaki. Padahal perjalanan dengan motor bisa memakan waktu 8 jam. Tatiana dan Abubakar yang panik minta tolong Carlo menyusul Merry sampai dapat. Carlo hebat lho! Perpaduan antara rasa bersalah, takut akan omelan Abubakar, dan rasa khawatir menjadi kekuatan buat Carlo menyusul Merry. Sebelumnya kemarahan Merry memuncak karena Carlo ‘nyemplungin’ harmonika kesayanganya ke danau. Padahal itu harmonika pemberian Mauro.
Carlo akhirnya menemukan Merry di perjalanan menuju Atambua. Walau sempat ngomel-ngomel, Carlo bertanggung jawab sekali sama Merry. Tingkah laku Carlo inilah yang jadi satu-satunya aksi heroik dalam film. Mulai dari membawa Merry yang pingsan ke puskesmas terdekat (yang jaraknya tidak dekat itu), nyolong air minum dan ayam taruhan, cuci piring biar bisa dapet makan dari warung, sampai memastikan Merry mau berjuang bertemu dengan kakaknya.
Selanjutnya garing. Pertemuan Merry dan Mauro dibuat-buat banget. Cara mereka bernyanyi “Kasih Ibu kepada Beta” waktu saling mencari satu sama lain terasa tidak natural sekali. Ga lama kemudian datanglah Abubakar dan Tatiana. Mereka saling senyum dan menangis bersama. Abis deh…
Tanah Air Beta dan Balibo
Entah karena dipanasi oleh film Balibo yang sempat membuat heboh orang Indonesia atau bukan, Ari Sihasale bilang udah punya ide bikin Tanah Air Beta sejak tiga tahun lalu. Tapi memang baru tahun ini kesampaian dirilis. Ga tau juga. Yang jelas Tanah Air Beta sama-sama mengambil setting tempat di daerah Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Timor Lorosae Cuman film yang satu ini jauh banget dari tema politik seperti di Balibo. Ga ada darah-darahan, tembak-tembakan, tending-tendangan, apalagi konspirasi militer. Sementara Balibo…beeuuhhhh… Mengungkap sisi lain suasana di Timor-Timor sih. Sayanya aja yang ga kuat menyaksikan teman-teman wartawan dibunuh dengan cara gitu.
Tanah Air Beta itu film keluarga banget. Tema yang diusung kekeluargaan. Setipe sama King, Denias, Garuda di Dadaku. Sangat ringan tapi ga tertalu garing. Ya walau endingnya tetep ga asik. Cocok juga lah untuk anak-anak (ah tapi sepertinya anak sekarang ga doyan film kaya gini)
Saya sendiri emang suka film Indonesia macam ini. Mungkin ada yang beranggapan saya childish, sok nasionalis, atau kampring. Hehehe..tapi bener saya lebih suka menyimak film macam ini dibandingkan Twilight Saga dan teman-temannya. Apalagi film pocong-pocongan dan paha-pahaan. Kagak dah. Mending nonton film anak-anak dibanding ABeGe labil. Hahay.. ini menurut saya yaa.
Eh sebenernya agak-agak kagum juga sih. Film ini dirilis sekitar sebulan lalu. Kemarin (12/7) pas saya menonton di Studio 21-nya Ambarukmo Plaza Jogja ternyata antusiasnya masih tinggi. Padahal sekarang kan liburan sekolah sudah habis. Setidaknya setengah isi bioskop terisi penuh. Kalau saya tidak salah lihat, beberapa dari antara para penonton memiliki ciri fisik dan intonasi bicara yang sama dengan Tatiana, Abubakar, Merry, dan Carlo.
Jadi inget bentar lagi 17 Agustus. Indonesiaku akan berusia 65 tahun. Hehehe walau penggemar berat Argentina, saya ini Indonesia bangetlah. Masih bangga bilang Garuda di Dadaku (dan Albiceleste di punggungku :P ).
No comments:
Post a Comment