Saya lagi menjari jarum. Sebenarnya sih tidak terlalu sulit. Yang jadi masalah, saya mencari di tumpukan jerami. Sudah gitu tumpukan jerami punya orang lain pula. Itu yang membuatnya terasa sulits. Kok sulitnya pake ‘s’? iya, soalnya sulitnya jamak. Hahahaha…
Jadi begini ceritanya. Sudah tiga bulan terakhir ini saya tinggal di tempat baru. Benar-benar baru. Sebelumnya saya malah sempat bermimpi ria selama 24 tahun untuk bisa bergaya seperti Neil Amstrong di bulan ketika bisa menginjakkan kaki di kota baru itu.
Jogja! Harus dibaca dengan intonasi seperti iklan yaa.. Hehe…Pertama kali saya (akhirnya) bermalam di tempat ini ketika Press Awardnya Telkomsel sekitar pertengahan 2008. Itupun karena saya menggantikan rekan saya sesama wartawan ekonomi di Seputar Indonesia Biro Jawa Barat. Kebetulan redaksi punya kebijakan agar perjalanan “hura-hura” ke luar kota macam itu digilir ke semua wartawan. Tujuannya untuk mengurangi konflik batin yang biasanya terlihat di rapat redaksi maupun dunia pergosipan di dalam dan luar kantor. Hihihi..Tapi dulu perjalanan ke Jogjanya kurang terasa. Saya malah lebih banyak menghabiskan waktu di seputaran Hyatt Regency Yogyakarta. Maklum, perempuan yang ikut hanya saya dan wartawan Radar Bandung yang lagi hamil besar. Yati namanya. Saya tidak terlalu kenal dengan anak-anak lain makanya lebih banyak berdiam. Fahmi, fotografer Sindo Jakarta, keheranan karena tidak melihat batang hidung saya yang pesek ini dalam petualangan malam. Tumben, katanya. Selebihnya saya dan rombongan hanya mengunjungi pusat kerajinan perak di Kotagede, toko resminya Dagadu, Bakpia yang saya lupa apa namanya, dan Malioboro. Abis itu langsung ke Adisucipto untuk balik ke kandang masing-masing.
Perjalanan kedua itu sekitar Maret 2009. Itupun request dari Hera, ibu tirinya Herkules eh maksudnya ade bontot saya. Hehehe… Kala itu perjalanan lumayan banyak karena Hera, saya, dan Ruben pacar saya tinggal hampir dua minggu di Jogja. Kami menginap di tempat Mbak Elis, kakaknya Ruben.
Nah sekarang itu berarti kunjungan ketiga. Lebih ding karena sebenarnya saya masih suka mondar-mandir Jogja – Jakarta – Bandung, Nah yang sekarang ini perjalanan hadiah ulang tahun ke 26 dari Ruben pas Mei 2010 lalu. Dia lagi menutupi rasa bersalah tuh karena untuk ke sekian kalinya tidak bisa merayakan ulang tahun saya. Hihihi dianya emang suka berlebihan sama saya. Udah gede juga tapi hobi banget manjain kaya anak kecil. Padahal biasanya saya yang manjain orang-orang :P
Keputusan untuk ke Jogja memang menuai banyak kontroversi. Baik dari pribadi saya sendiri maupun orang-orang di sekitar saya. Baik yang dekat maupun sok dekat sama saya. Hahay! Pasca kelulusan dari (paksa) sarjana dari U.n.p.a.d itu, keluarga saya meminta saya untuk kembali ke Jakarta. Ini dia biang keroknya. Terbukti saya memang tidak tahan Jakarta. Entah karena phobia sama Jakarta atau sama orangnya, saya langsung sakit. Parah banget, Makin lama penyakit ini mulai menggerogoti bagian tubuh vital saya lainnya. Semuanya semakin gila rasanya setelah Ruben dipindah tugas ke Sulawesi Tenggara. Mending kalo di Kendari. Ini tuh di Torobulu. Sekitar 2 jam dari Kendari jika menggunakan kendaraan offroad. Ditinggalin pacar sekaligus sahabat terbaik yang banyak mamahami siapa saya.
Andi, Bapak, apalagi Mama dan Hera benar-benar shock berat. Mereka yang akhirnya menyerah untuk memaksa saya tinggal di Jakarta memberi solusi untuk membiarkan saya pindah ke Denpasar. My hometown. Seneng banget rasanya. Tapi ada beberapa hal yang sempat membuat mereka ragu dan menarik izinnya. Saya marah dan secara sepihak memutuskan untuk pergi ke Jogja. Bukan sekedar pergi tapi migrasi. Saya sudah mempersiapkan segalanya ketika meminta izin ke orang tua saya. Mulai dari tiket sampai tempat tinggal. Mereka marah. Sedih. Namun tidak bisa berbuat banyak. Yang saya tahu, mama dan Hera menangis habis-habisan selama beberapa minggu. Bapak saya? Halah palingan sikap saya ini jadi alasan baru untuk kembali meneguk minuman sialan itu. Andi? Yaaaa begitulah.
Saya hanya bilang, tenang saja. Jogja itu kota yang biaya hidupnya murah. Penghasilan di sana memang rendah. Hanya, jangan berharap saya bekerja di tempat yang seprestisius Jakarta. Lagipula saya punya beberapa teman di Jogja jadi sepertinya tidak terlalu sulit mencari pekerjaan di Jogja. Salah satunya Miftahul Ulum, teman saya yang kerja di Harian Jogja yang nyatanya sampai pertengahan Juli ini tetap belum saya hubungin sama sekali.
Bulan pertama di Jogja, tawaran pekerjaan malah lebih banyak datang dari Jakarta. Cuman satu sih yang saya datangi tapi ga goal. Walau begitu, saya punya pengalaman menarik karena bisa menghabiskan waktu yang tidak biasa di Jakarta. Kok tidak biasa? Iya soalnya kan saya benci banget sama Jakarta. Baru kali itu saya nyamaaaann sekali tinggal di Jakarta. Gimana ga nyaman, saya tinggal di kosnya Vinna Sumenge yang ternyata deket banget sama Koran Jakarta, kantornya Uciem. Bisa ngobrol panjang banget sama Eva dan Karyo yang makin nduuuutttt. Sudah makmur dia sejak jadi pasukannya Hasan Wirayuda dan Marty Natalegawa.
Balik ke Jogja, saya kembali ke rutinitas yang slow sekali. Asli garing banget! Segaring isi Kedaulatan Rakyat. Hahaha… Uli, sepupu saya yang saya tebengin selama satu bulanan itu, menegur saya untuk mencari info tentang kerjaan di surat kabar saja. Jogja itu tidak terlalu melek sama internet. Masyarakatnya lebih mengandalkan informasi dari media massa cetak. Mereka banyak yang freak sama Kedaulatan Rakyat. Jauh lebih freak disbanding orang Bandung sama Pikiran Rakyat. Yang kaya bisa langganan, yang agak berada bisa beli ke tukang Koran, sementara yang kurang beruntung tetap bisa membaca di papan pengumuman yang ditempeli Koran. Biasanya ditempel di Mesjid, Sekolah, dan yang pasti itu ya di kantornya KR di Jalan P. Mangkubumi.
Nah ini yang saya bilang mencari jarum di tumpukan jerami. Mengapa saya kok mengilustrasikan seperti itu Soalnya mencari pekerjaan yang saya inginkan itu susaahhh bener. Ini dia yang saya katakan si sombong kena batunya. Pekerjaan sih banyak tapi gajinya itu lho. Haduh, haduh, haduhay.sodara-soadara. Adi yang sekarang sama-sama jobseeker seperti saya banyak memberikan realita tentang dunia pekerjaan di Jogja ini. Saya memang sombong banget. Sudah berates lowongan pekerjaan yang saya ketahui tapi jarang sekali yang nyantol di hati. Saya sering banget mengirimkan aplikasi ke mereka. Pikiran saya, sayang banget kertas, tinta, dan ongkos kirimnya. Ga sebanding sama gaji yang bakal saya harapkan nantinya. Hehehe…
Beberapa kali ke Job Fair. Duh malesnya ada di sana. Saya sering datang ke bursa kerja walau biasanya sebagai peliput. Belakangan ini saya datang ke bursa kerja sebagai peserta. Beuhhh perlakuannya beda sekali. Ga usah mikirin makanan gretongan deh, perlakuan orang-orang juga beda. Hasilnya juga selalu mengecewakan. Sekalinya nemu yang pas di hati eh ternyata pas lihat perekrutnya itu perusahaan outsourcing. Kaya gini yang musti hati-hati. Kalau ga jeli bisa terjebak jadi tenaga outsource. Sedih banget melihat orang-orang yang tergiur sama perusahaan yang buka lowongan itu padahal mereka malah akan terdaftar sebagai calon karyawan perusahaan lain. Sayang banget. Mending semangatnya diarahin untuk daftar di perusaahan yang beneran. Pengen bilang ke mereka tapi siapa gue?
Sebenernya jarum seperti apa yang saya cari sih. Ya jarum yang nge-klik sama seorang Evi Panjaitan. Maksudnya bukan jarum jahit yaaaa.. Habis biasanya saya sering diledekin taylor sih alias penjahit. Jahit-menjahit cukup menjadi hobi saya saja. Evi Panjaitan itu nama pena saya. Panggilan hidup saya memang untuk menulis. Saya merasa hidup ketika menulis. Merasa punya arti untuk diri saya sendiri dan dunia sekitar saya. Setidaknya ini yang saya amini ketika bergumul mencari apa tujuan hidup sewaktu di Jatinangor dulu.
Nyatanya saya mendapat informasi yang minim sekali tentang dunia penulisan di Jogja ini. Alfin, sahabat saya, pernah bilang akan membantu saya melalui teman-temannya. Dia memang orang Jogja asli jadi sangat mengetahui celah-celah. Eh beberapa hari setelah perjanjian itu dia dikirim untuk liputan ke Papua Barat. Sebel 100%! Sebel karena makin ngerasa sendiri aja di Jogja ini. Sebel pangkat dua karena saya kan ingin sekali ke Papua. Malah dia duluan yang ke sana.
Ada satu hal lain yang bikin saya jauh lebih sebeeeelll lagi. Ini gara-gata dia yang namanya tidak usah disebutkan. Seenaknya aja maksa saya kembali jadi wartawan. Nyaranin langsung masukin aja ke Koran-koran di sana. Sok tau gue banget sih, kamu! Kalau kamu baca tulisan ini, saya mau ingetin kalau saya sudah bilang tentang kondisi saya. Bo sekali-kali tolong belajar mendengarkan apa yang saya katakan. Kamu kan tahu gimana enaknya ada orang yang mau mendengarkan ketika orang lain tidak bisa berbuat hal yang sama ke kamu. Ah sudahlah! Males ngomongin tentang yang satu ini.
Eiya saya berniat membeli sepeda. Lagi hunting sepeda yang cocok nih. Hitung-hitung belajar melatih fisik. Jantung saya harus banyak dilatih. Jogging, jalan kaki, dan sit up sepertinya belum cukup. Ternyata ada kalanya saya tetap kalah dan hanya bisa merana sendirian seperti Siti Nurbaya yang tengah dipingit. Hihihi…Sekarang ga ada lagi yang merangkul, memeluk, atau sekadar memegang tangan saya ketika penyakit saya kumat. Jadi harus belajar menanggulangi semuanya sendiri. Belum nemun dokter psikosomatis di sini. Yang ada hanya dokter dari segala dokter, Tuhan Yesusku. Sekarang kalau lagi kumat cuman praise and worship yang jadi andalan. Obat saya udah habis sih. Belum nemu apotik yang mau menjual obat-obatan yang saya butuhkan secara illegal sihh. Hehehehehehe….. Hayo epoy belajar tidak bergantung sama obat.
Hmmmm tapi lama-lama jenuh. Sekarang saya sudah masuk dalam tahap desperado. Semua orang banyak menyindir. Bahkan keluarga besar udah mulai ikut campur. Mereka ragu saya benar-benar mencari kerja di sini. Mereka bilang : “Apa ga kasihan sama orang tuamu? Mereka sedih lho waktu orang-orang obrolin anak-anak mereka pas kumpul keluarga. Pulanglah kau. Apa bagusnya jogja itu?”. Ya ya ya ya.. Apa kata kalianlah. Toh kalian tidak perlu tahu jalan hidup dan jalan pikiran saya sekarang. Saya jelaskan yang sebenarnya pun tetapi gossip yang aneh-aneh akan menghinggapi saya.
Meski demikian, saya sebenernya mulai khawatir. Jarumnya bener-bener sulit untuk ditemukan. God help me, please…
Saya bilang ke Ruben, dia malah bilang :
“Lho kamu kan ke Jogja statusnya lagi liburan. Santai aja lah yang.. Pelan-pelan aja nyarinya. Kamu kan lagi istirahat. Kamu yang tau kondisi kamu udah fit belum untuk kerja (rodi) lagi..”
Hehehe dia mah bisaan aja ngomongnya. Selalu aja bikin semuanya yang mengerikan jadi dibawa santai. Perkara panik mah dalam hati aja. SMANGAAAAATTTT EPOYYYYY!!!!
No comments:
Post a Comment