Dengan kebaya ungu bercorak emas dan sarung batik coklatnya, Eyang tidur dengan tenang. Cantik. Entah penata rias dari RS Bethesda yang canggih atau memang Eyangnya yang tidak bisa menutupi keindahannya dibalik keriput tuanya. Tubuh Eyang yang beristiarahat selamanya di kawasan pemakaman Turi, Sleman sementara jiwanya menuju rumah Bapa di Surga.
Namanya Sudiyatinah Marsam Priyo Hadi Wasito. Asilnya sih hanya Sudiyatiyah. Empat kata terakhir merupakan nama lengkap suaminya, almarhum yang pernah menjadi dokter di RS Bethesda. Beliau adalah eyang putrinya Adi. Pacarnya Uli, sepupu saya. Di Jogja, Adi dan Uli adalah keluarga saya. Setidaknya itu yang sangat saya rasakan karena kami sering menghabiskan berbagai pengalaman bersama-sama. Ya mungkin perasaannya sama seperti Hera dan Alfin ketika saya masih tinggal di Bandung. Berusaha untuk saling mengisi satu sama lain. Terkadang peristiwa membuat tali kekeluargaan terasa lebih kental ketimbang darah yang mengalir di dalam tubuh kami masing-masing.
Saya baru tahu Eyang meninggal Kamis (14/7) pagi. Tadinya Uli menelepon minta diantarkan ke Yamaha Music di Jalan Gejayan. Setelah percakapan putus barulah berondong SMS masuk ke ponsel saya. Isinya memberitahu kalau Eyang meniggal semalam di Bethesda. Kamis siang akan diadakan ibadah di rumah Adi sebelum jenazah Eyang diberangkatkan ke pemakaman di dekat kawasan Kaliurang tersebut.Duh ponsel saya memang sering mati kutu ketika ada di dalam kosan. Kata bapak saya, biasanya sinyal ponsel sering terganggu kalau berada di bawah lantai beton dan saya memang tinggal di lantai bawah. Jadi sering banget ponsel ‘ngadat’.
Adi bilang eyang meninggal pada Rabu (14/7) tepat pukul 21.00 WIB. Sebelumnya eyang sempat masuk rumah sakit karena paru-paru basah. Pasca operasi untuk menyedot cairan di paru-paru eyang, bapaknya Adi cerita ke saya kalau ternyata eyang juga punya kanker. Dia memperkirakan waktunya eyang memang tidak lama lagi. Ga nyangka eyang memang pergi hanya beberapa hari saja dari percakapan itu.
Uli dan saya sampai di tempat Adi keesokan harinya sekitar pukul 11.00. Niatnya sih mampir sebentar saja. Soalnya Uli masih mau persiapan buat Pimnas (Pekan Ilmiah Nasional) di Denpasar 20-24 Juli besok. Saya sih cuma punya satu kepenting yaitu MANDI! Hihihihi… belakangan ini sifat nokturnal saya sering kambuh. Melakukan berbagai aktifitas di malam hari dan baru tertidur di paginya. Jadi ga sempet mandi karena mikirnya hanya ke Gejayan aja.
Rumahnya Adi berada tepat di depan Kampus UIN Sunan Kalijaga. Biasanya rumahnya sepi tapi sekarang ruame banget. Dari depan sudah ada banyak rangkaian bunga. Dua di antaranya dari Museum Affandi dan GKJ di dekat-dekat sana.Beberapa kamar di bagian belakang rumah yang biasanya kosong sekarang hampir semuanya terbuka. Ada yang karena memang sudah ditempati orang dan sebagian lagi untuk meletakkan barang-barang agar tamu bisa berlalu lalang dengan lapang. Eiya, desain awal rumahnya Adi itu direncanakan untuk menjadi rumah sakit kecil. Itu mengapa ada banyak kamar. Sekarang jadinya dibuat tempat kos. Kekeluargaan di kawasan itu benar-benar terasa sekali. Para tetangga sudah mulai ramai sejak semalam. Ketika saya sampai, mereka sudah bergotong royong menyiapkan konsumsi membantu yang punya rumah. Ada yang masak air di panci gede. Mondar-mandir angkat air dan nyalain arang karena masaknya pake anglo. Di sini memang anglo masih jadi andalan untuk urusan masak memasak. Beras sudah terkumpul sekitar 2 karung. Para ibu memotong-motong bahan makanan sambil terus bercerita. Wangi masakannya membuat perut saya seriosa. Huhuhuhu… laparnya…
Terbiasa mendengar istilah kalau perempuan harus jadi parhobas alias ‘pembantu umum’ dalam acara kumpul-kumpul, Uli dan saya kurang enak juga hanya duduk. Kami itu Martha, bukan Maria. Padahal saya sepertinya menangkap harapan Adi ingin ditemani Uli untuk diam sambil mengingat pengalamannya bersama eyang. Tapi jadinya gerak juga deh. Bagi-bagi kotak kue ke para tamu. Sambil mencicipi kue tentunya! Hehehe… Roti di kotak kue jenis kedua mantap kali euy. Saya suka banget roti pisang keju fla-nya. Enaakk :P
Pendeta dari GKJ memulai kebaktian hampir menjelang pukul 13.00 WIB. Agak khawatir juga sih jangan-jangan ibadahnya menggunakan bahasa jawa. Butuh bantuan Google Translate Boso Jowo nih. Penasaran juga bagaimana kalau beneran kejadian tapi ternyata pake bahasa persatuan kok. Orang-orang yang berada di dalam rumah maupun di tenda di luar rumah mengikuti ibadah dengan khusuk. Tidak ada banjir mata. Yang ada banjir komentar bisik-bisik ketika sang pendeta mengungkit masalah tarif dasar listrik dalam kotbahnya.
Saya sebenarnya gatel banget. Ga betah duduk karena biasanya saya lebih suka mengabadikan suasana dalam kamera di ponsel. Suasana seperti ini yang membuat saya menggerutu sama Andi, adik saya, yang masih mengudeta kamera digital saya. Saya kan hobi sekali fotografi. Untung masih ada ponsel. Ya walau hasilnya kurang asoy dibandingkan kamera digital. Kebaktian selesai sekitar pukul 14.00 WIB. Iring-iringan berangkat menuju Turi melalui rute Ring Road. Uli dan saya tidak ikut ke pemakaman. Jauh euy! Saya masih belum punya SIM dan razia polisi di Jogja itu pekat banget. Semuanya kejaring. Bisa brabe nanti urusannya kalau sampe kena tilang (lagi). Nanti malem ada kebaktian lagi. Kali ini kami berdua tidak ikut. Uli masih pengen bareng Adi tuh. Nemenin Adi. Kebayang sih rasanya. Saya juga pernah ada dalam suasana seperti itu. Senang rasanya bisa mendampingi pacar ketika dalam suasanya duka. Senang bisa memberi ketenangan bagi orang yang kita kasihi. Damai…
Dan pada akhirnya manusia akan kembali ke penciptaNya. Dari tanah kembali ke tanah. Berbahagialah mereka yang mati dalam Kristus karena mereka berhak mendapatkan tempat di Rumah Bapa. Di surga yang mulia. Selamat jalan ya Eyang!
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal Tuhan kita. Supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16)
No comments:
Post a Comment