Wednesday, April 22, 2020

Jalan Kita Sama-sama Terjal

(Yang Membedakan Hanyalah Jenis Batunya)


Dua hari ini gw terpukul dengan berita tentang seorang ibu di Serang, Banten yang konon mati  karena 2 hari kelaparan. Damn, it's a fucking hurtful news!! Pikiran gw pun berkelana.


Mula-mula tentunya gw memaki-maki pemerintah desa setempat. Ini pasti gara-gara birokrasi ala ular tangga. Belibet! Pusat sudah bertitah dengan menyediakan bantuan sosial A, B, C, D namun di daerah menyediakan prosedur X, Y, Z. Proses ketemu A dan Z seringnya kepanjangan plus banyak jebakan batman.


Lalu gw mikir lagi. Ini si ibu kok kaya pelarian yak. Gak punya tetangga, teman, atau sanak saudara. Sampe segitunya gak ada yang mau sekadar minjemin beras, bawang, atau mie instan untuk makan. Sesuatu yang masih lumrah terjadi antar tetangga, dan saudara juga sih. Apa jangan-jangan isi grup Whatsapp RT tempat si ibu ini cuma penuh sama ucapan 'Selamat Pagi'. Atau ucapan 'Ayo diorder bun dagangan saya'. Atau bentuk ramah tamah klise khas obrolan rumah tangga. Penuh basa-basi kurang mutu. Materi penting terkait update pandemi Covid 19 --yang seharusnya lebih pas dibagikan ke grup komunikasi warga-- malah terabaikan. Entahlah... Gw sedih jadi keinget seseorang yang mungkin mengalami hal senada dalam pelariannya. 


Lama-lama gw jadi mikir. Corona ini emang dahsyat banget. Nyaris tidak ada satu pun di dunia ini yang lolos dari serangan virus Corona. Resident Evil banget! Pada akhirnya pilihannya ada dua. Terima kenyataan dan mati pelan-pelan. Atau, berjuang melawan walau salah satu kemungkinannya mati mengenaskan. 


Iya, semua pasti kena dampak Corona. Gak peduli kita orang miskin ato kaya. Gak peduli agama dan ras. Gak peduli kita itu waras apa secara psikis bermasalah (orang awan bilang, gila). Yang membedakan gimana cara kita menghadapinya. Gw keinget unggahan beberapa waktu lalu yang gw dapet di dinding Facebook orang. Jalan kita sama-sama terjal, yang membedakan hanya jenis batunya. 


Masyarakat bawah sudah pasti langsung kena dampak corona. Pekerjaan hilang. Pemasukan terjun bebas. Gw ngeh banget rasanya udah bahagia bisa makan nasi sama kecap doang. Ucapkan selamat tinggal sama rencana pengembangan usaha rumahan yang seharusnya bisa membawa kehidupan ke arah yang lebih baik. 
Diam di rumah gak bisa selamanya berpengaruh baik dengan mutlak. 


Tapi masyarakat atas ternyata juga gak luput dari hantaman corona. Gw melihat sendiri satu per satu perjuangan teman-teman pengusaha di linimasa Facebook. Mereka memang elegan sekali menghadapi bencana. Gak berkoar-koar meratapi kehancuran yang akan dialami tapi tiba-tiba udah ambil solusinya. Usaha boleh ringsek sana sini tapi 'kapal' harus tetap bertahan. 


Pada akhirnya intinya cuma satu. FIGHT. Berjuang. Gw nemu kalimat motivasi dari Kak Lilis Aritonang, "Adapt. Find a smarter and better ways to fight ". Semua orang sama-sama kejebak di jalan yang terjal. Jenis batunya aja yang beda. Pilihannya balik lagi, mau nyerah dan mati pelan-pelan atau mati berjuang.


Para 'nahkoda' besar banting setir. Biasanya bikin mobil, sekarang bikin face shield. Biasanya bikin kebaya super duper kece, sekarang bikin APD atau bahkan kantung mayat. Yang terpenting bisa beradaptasi dan tetap produktif biar bisa bayar gaji karyawan. 


Buat yang masih ada di lapisan tengah dan bawah, ayo kita tetap berjuang. Jangan malu untuk lambai-lambai bendera putih ketika udah gak sanggup bertahan. Gengsi gak akan bisa kasih kita makan. Paksain diri untuk berkomunikasi dengan orang lain jika butuh bantuan. Mentok di jalur A, tenang aja alfabet kan masih ada 25 lagi. Bersyukurlah jika dapat ikan. Lebih bersyukurlah jika dapat kail. Yang terpenting itu berjuang, berjuang, dan berjuang. Berjuanglah seperti halnya kalian monyet ketiga yang mau masuk ke Bahtera Nuh. Amina Armita, gw pinjem gambarnya yaa..


Salam sehat dan tetap semangat 
Evi Panjaitan si pejuang depresi