Friday, July 14, 2017

Eliza Oyy...

Pung, Eliza bisa gak dikirim lewat paket ekspress biar setahun di Jogja, setahun di Bandung,
dan setahun berikutnya baru dikembaliin ke Jakarta. :D


Namanya Eliza Evangelista Panjaitan. Keponakan pertama kami. Anak menggemaskan yang sepertinya terbuat dari campuran susu formula dengan DHA super tinggi, microphone, cabe rawit, dan marshmellow. Alhasil Eliza tumbuh menjadi anak kicik yang aktif, cerewet, galak, namun imut tiada tara. Hahahaha...



Mama Rina dan Bapak Andi, adik saya, selalu berbagi kisah lucu dan seru tentang Eliza lewat medsosnya. Hiburan banget lihatnya. Andi waktu kecil itu juga menggemaskan. Tapi Eliza ini pangkat tiganya. Hera, adik Bungsu saya, punya cara ekstrim untuk bisa dekat sama Eliza. Buat dia wajib sekali hukumnya untuk video call sama Eliza setiap hari. Wajar banget akhirnya bonding Eliza sama Bou Era jadi kuat sekali walau yang satu tinggal di ujung Jakarta dan satu lagi di Bandung. 


Inspeksi Permen Yuppi 
Saya lebih senang dipanggil namboru. Namboru dalam Bahasa batak berarti kakak atau adik perempuan anak laki-laki dalam keluarga. Sementara itu Ruben, suami saya, dipanggil amangboru. Akhir Juni 2017 lalu kami menghabiskan libur lebaran di Depok. Kumpul-kumpul di Rumah Ompung Eliza. Untuk pertama kali Eliza nyebut kata "boyu". Senangnyaaa..... 



Serius saya senang sekali, pake banget! Soalnya saya dan Ruben tinggal di Jogja. Ketemu sama Eliza baru dua kali. Sempat khawatir Eliza merasa asing sama saya sekalipun di sisi lain gen keluarga Panjaitan itu selalu jadi magnet buat anak-anak. 



"Singa Asam Manis"


Eing ing eng... ternyata memang tidak terlalu sulit "menyabotase" Eliza. Dengan catatan, saya dan ELiza lagi sama-sama waras ya. Hehehe. Sisi storyteller dalam diri pun masih ada. Sebagian besar dari kebersamaan kami habiskan dengan berdongeng dan bernyanyi. Cerianya Eliza apalagi waktu diajak berhayal tentang ikan dan singa. Suaranya kenceeeng!  Apalagi kalo lagi nyanyi lagu macam "Tik Tik Bunyi Hujan","Ondel-Ondel", "Little Finger", atau "Johny Boy" (Bou Era ,ini bukan ya judulnya?).




Eliza juga seru juga waktu diajak belajar main (baca : bersosialisasi) sama-sama anak-anak kecil lainnya di Rumah Tulang Uli pas persiapan acaranya Uli. Semacam pengalihan gitu deh biar quality time Eliza dan Namboru Evi minim gadget. Mending main air dan tanah aja. Kotor sih tapi sensorinya terpakai. Tapi pas bagian lompat kodok, beuhh...nyerah! Kebayang deh anak ini pasti senang sekali kalau nanti ikut Sekolah Minggu atau sekolah beneran. Pintar dan baik hati selalu ya, inang.


Sayangnya, Namboru yang satu ini energinya terbatas banget. Gampang sekali kehabisan nafas. Sebelas dua belas sama Ompung Doli. Kalau udah kaya gini, Eliza dan Namboru jadi sama-sama gak waras. Hehehe... Beberapa hari selanjutnya kami terselamatkan dengan Bou Era. Kata Rina, Bou Era kan mama infal-nya Eliza. Hahahaha... Sayang deh sama kalian semua! ***




Tuesday, May 2, 2017

Dieng, Negeri di Awan

Eksplor Dieng!

Dieng. Konon, Dieng merupakan datarang tinggi yang jadi rumah para dewa. Dataran tinggi dengan pesona alam dan budaya yang indah. Kunjungan ke Dieng seakan menjadi perjalanan ke negeri di awan. Tinggi, dingin, dan indah!


Petualangan ke Dataran Tinggi Dieng membutuhkan persiapan yang matang dan tepat. Waktu yang tepat untuk memulai petualangan adalah dini hari. Saya sendiri berangkat bersama rekan-rekan dari GKI Gejayan Yogyakarta pada malam hari. Perjalanan Yogyakarta menuju Dieng berkisar 4 jam. Kami berganti kendaraan di Alun-alun Kota Wonosobo. Dari Mini Bus sewaan ke bus yang lebih mini lagi. Kendaraan tipe ini memang jenis kendaaraan yang tepat untuk berpetualang dalam kelompok grup (agak) besar.


Dieng berarti gunung, geologi, budaya, dan holtikultura yang atraktif. Dieng semakin menarik ketika kita berkunjung pada sekitar Juli dan Agustus. Suhu udara yang mencapai 00C di pagi hari membuat embun langsung membeku seperti salju. Dieng terasa seperti di Eropa!


1.      Gunung
Dieng itu luas! Secara demografis, Dieng terletak di wilayah administrative Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara.  Dieng punya beberapa gunung berapi aktif dengan beragam level pendakian. Gunung Sikunir (2.463 m), Gunung Sindoro (3.150), Gunung Sumbing (3.387 m), Gunung Prahu (2.595 m), dan Gunung Pakuwaja (2.463 m).


Gunung Sikunir merupakan jalur pendakian yang tepat untuk mereka yang ingin “paket hemat”. Terletak di Desa Sembungan, Gunung Sikunir membawa kita merasakan tiga sajian indah : Suasana desa tertinggi di Pulau Jawa, Golden Sunrise, sekaligus bersantai di Telaga Cebong. Tak lupa juga posko kuliner khas Dieng yang nikmat disaji di tengah udara dingin. Kita dapat memasang tenda di pinggir Telaga Cebong jika ingin bermalam di Dieng. Jika mau yang lebih praktis, kita juga dapat menginap di kendaraan pribadi atau bisa juga di penginapan sederhana di sekitar Desa Sembungan. Mulailah pendakian sekitar pukul 04.00 pagi ketika ingin menikmati Golden Sunrise ala Dieng.


Jalur pendakian Gunung Sikunir tergolong baik karena sudah berupa anak tangga yang sebagian besar dilapisi konblok. Ada pegangan tangga yang semakin memudahkan pendakian. Ada tiga posko di puncak Gunung Sikunir.  Puncak pertama hanya berkisar 1 km dari titik awal pendakian. Titik kemiringan tidak melebihi 45 derajat. Puncak kedua dan puncak ketiga hanya selisih beberapa ratus meter saja. Untuk pendaki dengan kondisi kesehatan yang terbatas, saya sarankan berjuang untuk mencapai di puncak pertama saja. Titik ini merupakan tempat yang paling tepat ketika ingin menikmati suguhan pemandangan matahari terbit dengan sempurna. Yah, kecuali langit lagi mendung!


Pemandangan Gunung Sindoro dari Gunung Sikunir 



  
2.      Geologi
Dieng juga surga geologi. Artinya, Dieng punya gas, uap air, dan material vulkanik khas gunung berapi. Dieng punya kawah dan danau vulkanik yang eksotis. Berbahaya tapi eksotis! Para pemandu jalan memberikan tips praktis kepada kami. Pergilah ke tempat yang gasnya punya warna yang kasat mata dan punya bau yang khas. Itulah tanda paling sederhana. Gas beracun justru “tersembunyi”. Damn!

 
Kawah Utama di Kawah Sikidang


Kawah aktifnya yang terus dipantau yaitu Kawah Candradimuka, Kawah Sibanteng, Kawah Siglagah, Kawah Sikendang, Kawah Sikidang, Kawa Sileri, Kawah Sinila, dan Kawah Timbang. Ada beberapa catatan penting nih :

-        Kawah Candradimuka. Sering banget nih denger istilah Kawah Candradimuka. Entah mengapa ada rasa Soeharto ketika mendengar mendengar penjelasan tentang kawah Candradimuka. Hehehe.. Kawah ini tergolong besar dan tidak terlalu direkomandasikan untuk dikunjungi.
-        Kawah Sibanteng. Terakhir meletus pada Januari 2009 dan mengeluarkan gas beracun.
-        Kawah Sikidang. Kawah ini paling aman sehingga jadi kawah paling populer bagi para wisatawan. Nama Sikidang diambil dari kata “kidang” dalam bahasa Jawa berarti kijang. Diberi nama Sikidang karena lubang kawah di Sikidang sering berpindah-pindah. Satu hal yang keren dari Kawah Sikidang, kita dapat melihat kawah belerang yang panas dan meletup-letup dari jarak sekitar 3 meter saja. Blup.. blup… blup…
-        Kawah Sileri, Kawah Sinila, dan Kawah Timbang merupakan kawasan “The Big No”.  Kawah ini punya potensi besar mengeluarkan gas CO2 alias gas karbondioksida.


Lho, kok karbondioksida berbahaya? Bukannya manusia dekat sekali dengan CO2? Yaps.. Tapi ingat lho, dalam dunia sehari-hari kita menghirup oksigen lebih dulu baru kemudian mengeluarkan nafas dalam bentuk karbondioksida. Bukan kebalikannya. Kalau dibalik, bablas lah nyawa kita. Ini dia yang disebut pembunuh sadis ala Dieng. Gas yang tidak berbau, tidak berwarna, dan muncul tiba-tiba dari retakan tanah. Warga Dieng punya catatan kelam pada sekitar Tahun 1979 ketika gempa yang muncul di pagi hari. Warga yang baru bangun dari tidurnya langsung panik ke luar rumah. Tanpa sadar mereka justru terperangkap di dekat lokasi retakan sumber gas CO2. Ratusan orang mati seketika.


Dieng juga menyajikan danau vulkanik yang terbentuk dari letusan gunung. Penduduk sekitar lebih senang menyebutnya tlogo yang artinya telaga. Dieng memiliki Telaga Cebong, Telaga Warna, Telaga Merdada, Telaga Pengilon, Telaga Dringo, dan Telaga Nila. Semua punya kekhasan masing-masing.


Hujan dan stamina yang sudah sisa-sisa di Telaga Warna.
Padahal kalau cuaca mendukung, Telaga ini oke banget untuk jadi objek foto.



Telaga paling populer :
-        Telaga Cebong. Lihat info tentang Gunung Sikunir.
-        Telaga Warna. Telaga yang unik. Ada kandungan belerang yang membuat air danau bernuasa warna merah, hijau, biru, lembayung, dan putih.
-        Telaga Pengilon. Warna airnya bening.
-        Telaga Merdata. Telaga paling besar. Sumber utama pengairan pertanian warga sekitar.  


3.      Budaya
Dieng diduga menjadi salah satu lokasi kerajaan di Dinasti Sanjaya. Ada beberapa candi beraliran Hindu yang tersebar di beberapa titik. Tidak ada prasasti yang membuktikannya, sih. Alhasil, warga sekitar memberikan penyebutannya sendiri untuk berbagai candi yang ditemukan di Dieng. Ada candi Bima, Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, dan candi lain yang saat ini masih dalam tahap pemugaran. Candi ini terletak begitu apik dan teduh d Kompleks Candi Arjuna.






4.      Holtikultura
Dataran tinggi yang sejuk dan kandungan vulkanik di dalam tanah menjadikan Dieng sebagai kawasan pertanian yang subur sekali. Komoditas utamanya adalah kentang dalam berbagai varian; kentang mini, kentang ungu, kentang merah muda, dan kentang hitam.

Zamira, anak Dieng, membantu ibunya mencuci kentang mini yang dijual dengan harga Rp5.000/kg. Kentang Dieng punya rasa yang manis dan gurih walau dimasak dengan cara direbus saja. 




Ada tanaman khas Dieng yang tidak ditemukan di tempat lain yaitu carica (papaya gunung), purwaceng (berkhasiat tinggi untuk kejantanan pria sehingga dijuluki Viagra van Java), dan cabe dieng (cabe super pedas yang sekilas mirip perpaduan paprika dan jalapeno). Sungguh surganya holtikultura!


Jadi, tertarik untuk berkunjung ke Dieng?

Ada Dieng Culture Festival lho pada 4 s/d 5 Agustus 2017


Thursday, February 16, 2017

Istirahatlah dengan Tenang Ya Pung

Gugupku baru saja hilang setelah aku selesai menjalankan tugas di Persekutuan Karyawan Kamis (16/2) di GKI Gejayan. "Opung doli meninggal..", begitu pesan singkat di grup Pasukan Bodrex Siahaan. Seketika itu juga rasa panik kembali muncul.

Ah, opung! Aku benar-benar kaget, pung! Serius pula ompung tinggalkan kami semua. Kudengar memang cerita tentang Ompung dari para tulang dan sepupu yang rutin berkunjung ke Balige. Tapi, tak kuduga dengan cara tiba-tiba begini.

Masing-masing dari kami di grup pun saling bertukar informasi. Mama kami, mamatua, tulang.. Kepedihan menyerang mereka lebih dan lebih lagi. Tangisan demi tangisan bersusulan. Jiwaku pun menangis karena aku tidak bisa peluk mama di Jakarta sana.
"Kamu bisa temani mama pulang, inang?" tanya mama sambil terisak-isak.
"Nggak ma. Aku pasti ga kuat, ma", jawabku tanpa berani mengulik lebih dalam lagi perasaan mama. Pak, kami titip mama ya.

Ah, pung. Aku tidak suka menulis tentang kematian. Perih, pung. Inginku, aku mendukung mereka yang masih hidup saja melalui tulisanku. Tapi coba lihat apa yang mama lakukan, pung? Dikirimnya foto ompung doli dan ompung boru yang keren banget itu di depan HKBP Balige usai pemberkatan nikah Tulang Hasan & Nan Tulang. Akhirnya aku menyerah. Meneteslah air mataku..

Pung, banyak lho cerita kita. Aku beruntung menjadi cucu generasi perdana bareng Ai. Kami banyak menerima perhatian ompung sewaktu masih gagah dulu. Ompung pun masih berani bepergian sendiri di Sumatera dan Jakarta dulu. Aku ingat, pernah ketakutan sewaktu dulu masa SMA nekat jalan-jalan tanpa seijin bapak mama namun tiba-tiba kulihat Ompung berdiri sambil bertolak pinggang dengan muka galak di Lampu Merah HEK. "Mati aku!", pikirku saat itu tanpa berani meminta sopir angkot berhenti agar Ompung bisa naik. Padahal mungkin saat itu Ompung sedang kesal menunggu angkot sepulang dari rumah Tulang Olan. Berwibawa sekali Ompungku ini sampe ngeri aku dibuatnya dengan melihat sekilas saja. 

Ah, pung! Nunga mulak ho tu jabuni Debata. Istirahatlah, pung! Nunga sae ma tugas ni Ompung tu hami di portibi on. Mauliate godang ompung doli hasian ni hami. Pasahat ma tabiku tu Ompung Gondut di san. Ummaa.. 

Sunday, January 29, 2017

25 Hari Bersyukur : The Abangs ke Jogja

Hari ke 6 - The Abangs ke Jogja

Masih tentang 25 Hari Bersyukur, kali ini tentang pertemuan dengan mereka. The Abangs! Di Jogja pula. Kesempatan langka.

Saya sedang menantikan penampilan penampilan Paduan Suara Mahasiswa Ukrim di Natal BKSGK Sleman saat tiba-tiba Mama Rinta beri kabar tentang para abang yang mencoba meraba jalan dari Salatiga menuju Jogja. Seketika itu juga buyar rencana untuk menikmati indahnya komposisi vokal dari teman-teman pemuda. Btw, Alfa ganteng sekali dengan kemeja biru tua menyala, dasi hitam minimalis, dan celana slim fit hitam. Wkwkwk... Tiba-tiba saya ngeh maksud Ruben tentang "pesona" Alfa. Hahahaha..

The Abangs yang datang kali ini adalah Mas Alex & Mas Johnny. Pasukan cukup lengkap. Ada Mbak Tika, Putri, Astrid, dan Lily. Ada Mbak Wiwik, Rangga, Anggi, dan juga si mungil Aldi. Rame! Mereka baru selesai resepsi nikahan Alfred di Kendal. Selamat menempuh hidup baru ya, fred!

Kumpul, kumpul, kumpul. Ngantuk langsung buyar begitu ada ayam goreng bacem. Cuma mama yang tidak bergeming sama cemilan berat penuh kolesterol tapi penuh godaan itu. Hahaha..

Duh, maaf ya kami menjamu ala kadarnya. Tapi kami seneng bisa kumpul dengar The Abangs. Obrolan, kumpul-kumpulnya, dan jalan-jalannya pasti belum puas. Makasih juga sudah nyamper ke tempat kerjaku.

Kapan-kapan kalau waktunya pas, kita muterin Jogja lebih lama ya. Jajal kuliner lain. Foto-foto di spot lain yang keren di Jogja.

-Peluk sayang dari kami di Jogja-

Sunday, January 15, 2017

25 Hari Bersyukur : Hari ke 5 - The 72 yo Mama



"B'ri syukur, b'ri syukur, b'rilah syukur selalu 
Susah ataupun senang b'ri sykur
Panjatkan doamu, setulus hatimu
KasihNya kini jadi milikmu"


Tulisan ini rangkaian dari 25 Hari Bersyukur yang terinspirasi dari kuis Pdt. Ratna Indah Widhiastuty dimana saya gagal dengan suksesnya. Saya pun menantang diri saya sendiri untuk berdamai dengan pikiran dengan cara menuliskan 25 hal baik maupun kurang baik dalam hidup saya. Sungguh, saya bersyukur dengan semua hal tersebut!



25 Hari Bersyukur : Hari ke 4 - The 72 yo Mama
Ini dia Mama Rinta. Mama mertua saya yang tepat pada 8 Januari 2017 berulang tahun ke 72. Seumuranlah sama Indonesia. Hehehe.. 

Yups bener 72 tahun. Puji Tuhan mama masih tergolong sehat dan kuat. Sebenernya mama doyan jalan-jalan. Tapi kami agak kesulitan untuk sering-sering mewujudkan kemauan yang satu ini karena Jogja bukan kota yang ramah kendaraan umum. So far, mama sudah cukup menyenangkan dirinya dengan berpetualang naik Trans Jogja tiap dua bulan sekali bareng saya dan Ruben dengan rute rumah Mama ke Carrefour. Hehehe... 

Tahun ini, Mama merayakan ulang tahun di Pantai Ngandong, Wonosari, Gunungkidul. Gilanya lagi, Mama masih kuat mendaki ke atas tebing Pantai Ngandong demi melihat pemandangan indah laut selatan. Padahal dengkulnya Mama suka "korslet". Begitu sampe di atas, hilang deh yang namanya dengkul sakit, batuk-batuk, dan senewen karena suasana di atas seriusan keren! Giliran kami yang dag dig dug karena kami mencium gelagat Mama yang mau menyusuri batu karang yang tajem tajem itu dengan gaya Dora The Explorer. Wkwkwkwk... 

Selamat 71 tahun ya, Ma. Tetep jadi wanita tangguhnya yang mempersatukan kami ya. Gandengan tangan dan doa-doa Mama jadi kekuatan bagi kita semua untuk menyelesaikan lika-liku hidup yang absurd ini. Kami sayang Mama.