Thursday, September 26, 2013

Wolverine dan Harada

Sejak menyaksikan film pertama X-men, gw sukses terkesima sama tokoh Wolverine yang diperankan Hugh Jackman. Wolverine dan Hugh Jackman resmi menjadi pesona tersendiri bagi gw. Hugh Jackman pun lagi dan lagi membuat gw terpesona dalam film Les Miserables. 

Sebagai penggemar Wolverine, gw penasaran dunks sama sekuel film  Akhirnya The Wolverine muncul juga di Empire XXI Yogyakarta pada akhir Juli 2013 kemarin. Seneng banget bisa lihat Hugh Jackman lagi.


Empat tokoh dalam The Wolverine.
Wolverine, Mariko Yashida, Yukio, dan Kenuichio Harada. 


Tapi.. Tapi... Tapi... The Wolverine ternyata memadukan aksi petarungan mutan dengan pertempuran ala Samurai Jepang. Gaya cerita dalam The Wolverine bener-bener berbeda dengan film X-Man lainnya. Rasanya gw seperti nonton Last Samurai dengan greget yang nanggung. Agak janggal rasanya memadukan pertarungan Samurai dengan mutan berteknologi canggih. Unsur humanisnya kurang... Sayang banget!

Ya sudah deh gw malah akhirnya jadi terfokus sama tokoh Kenuichio Harada. Dia itu seorang Silver Samurai yang (sayangnya lagi) lebih sering bertempur dengan panah daripada samurai. Semakin dalam pencarian gw tentang latar belakang Harada, semakin gw kecewa sama film The Wolverine. Tapi di sisi lain, gw malah sukaaaaaa banget sama sosok Harada yang diperanin sama Will Yun Lee.  

Sepanjang film gw senyum-senyum sendiri lihat Harada. Mengambil istilah Wolverine, "That pretty little boy" menjadi hiasan yang menyenangkan. Ihhh... suka.. suka.. sukaaaa.. Nambah lagi nih daftar penjahat ganteng dalam versi gw. Hehehe..  

Kenuichio Harada diperankan oleh Will Yun Lee. Dia pernah main juga di Torque, Die Another Die, dan Elektra. Itu sih yang gw inget. Spesialisasinya emang jadi penjahat berambut lurus dan panjang yang ahli martial art. Will Yun Lee sendiri merupakan aktor keturunan Korea yang sudah berimigrasi ke Amerika Serikat. Dia sendiri lahir di Arlington, Virginia pada 22 Maret 1971 silam. Hmm.. berarti sekarang Will berusia 42 tahun ya. Pantes gw suka.. Xixixixi.... :P  Ah Wolverine, makasih ya udah kenalin gw sama Harada. *wink wink


Will Yun Lee

Thursday, September 19, 2013

Bombardir Tembakan di Naval Yard, Kok Kaya Adegan di NCIS ya..

Photo : usatoday.com

Naval Yard di Washington DC mendapat amukan senjata gila-gilaan dari seorang lelaki bernama Aaron Alexis. Sekitar 12 orang meninggal karena serangan mendadak itu. Markas Angkatan Laut US itu heboh karena semua orang di kantor Navy sibuk menyelamatkan diri. Presiden Obama pun geram karena dia merasa kecolongan. Padahal beberapa hari sebelumnya Amerika Serikat baru memperingati Tragedi 11 September.


Shocked! Itu yang terlintas dalam pikiran gw. Gileee... Kejadian itu bukan proses pengambilan gambar untuk syuting NCIS Season 11. Aksi sadis tersebut bener-bener kenyataan. Gw langsung cerita ke Ruben yang ternyata juga berpikiran sama. Ternyata bukan adegan film. Sayang pemberitaan penyerangan ini cuma mampir sebentar di tayangan berita televisi nasional di Indonesia. Maklum, kami tidak menggunakan TV berlangganan di rumah.

Gw pun menjelajah ke dunia maya untuk memastikan lanjutan peristiwa penyerangan di Naval Yard. Tak lupa mampir ke Fan Page NCIS untuk melihat reaksi penggila NCIS di Facebook. Sayangnya kabar tentang Tragedi Naval Yard masih kalah dengan berita hengkangnya Cote de Pablo dari NCIS Season 11 yang akan tayang akhir September 2013 nanti. 

Sebelum menutup halaman Fan Page NCIS, gw sempat menuliskan sebuah komentar tentang aksi gila di Naval Yard. Gw sukses dapet komplain karena sambungin NCIS dengan Tragedi Naval Yard. Soalnya kan Gibbs and team itu tokoh fiksi yang tidak akan membantu keluarga korban, local LEOs, dan FBI untuk memecahkan kasus penembakan edun itu. Iya sihh.. Gw memang terlalu sering menyampur-adukan dunia fiksi dan non fiksi. Tadinya gw berniat melanjutkan diskusi dengan meralat kalilmat "What will Gibbs do?" dengan kalimat "What will Fornell do?". Hehehehe.. Peace!

FYI, NCIS itu adalah tayangan serial televisi yang membahas investigasi kejahatan yang menimpa anggota Angkatan Laut AS dan keluarganya. Yah, semacam CSI tapi dikerucutkan kepada kasus kejahatan di lingkungan Navy. Gara-gara NCIS, gw yang anti sama militer jadi jadi belajar banyak tentang dunia militer. Kebanyakan ya memang tentang dunia Navy. 

Semakin lama gw keranjingan banget sama NCIS. Kuping dan pikiran suka gatel setiap mendengar nama Navy, Leroy Jehro Gibbs, Tobias Fornell, Antony DiNozzo, Timothy McGee, Abigail Scuito,Cote de Pablo, Ducky Mallard, dan Jimmy Palmer. I'm a NCIS freaks! I love NCIS but i also a big fan of Ari Hiswari.. xoxoxoxo... Dia penjahat yang ganteng :p..

Terimakasih kepada teman-teman di Fan Page NCIS yang sudah menjelaskan perbedaan NCIS di film dan dunia nyata. Ternyata sejak empat tahun lalu, Kantor Pusat NCIS udah pindah dari Naval Yard di Washington DC ke Quentico. Di Naval Yard yang jadi lokasi penembakan Aaron Alexis itu cuma ada kantor perwakilan aja. Jadi, sekalipun Gibbs lagi syuting pasti mereka selamat dari bencana. 

Bagaimana pun juga, gw turut berduka cita untuk peristiwa penembakan di Naval Yard. Semoga keluarga korban mendapat ketabahan. Semoga juga FBI yang jadi penanggung jawab bisa menangani kasus sampai tuntas. Amin!


Saturday, July 6, 2013

So, What is My Name Now?

Lately, i have difficulties to write down my name. Yups, my own name! It is so confusing... I always spend more than 15 minutes to think about what my name is now. Type, erase, type, erase, and so on until i get bored then go back to my childhood name.

Evi Panjaitan. I used to take that name for along 28 year. Sometime I used Eviana Ulitaria Panjaitan. Somehow my father and Dinas Kependudukan force me to remember the "Mayro" things. Hohoho... I'm still wishing I can change it with "Mario". :D

Several day ago in our pillow talk, Ruben was asking when will I change my name. I told him that it was not as easy as i thought  before. Especially when he reminds me that he is also a Hutahaean. It means that i will a longer name... Ahhh...

Evi Panjaitan + Knehans + Hutahaean = ...
Evi P. Knehans or Evi P. Knehans Hutahaean
or Evi P. Hutahaean...

Ah, EPH.. Sounds de javu!


Friday, May 24, 2013

Rectoverso ala Epoy

Rectoverso. Akhirnya nonton juga! Tahun 2008, gw jatuh cinta banget sama buku bersuara ala Dewi Lestari yang dikasih judul Rectoverso. Kesepuluh lagunya, kesepuluh cerita pendeknya, aih.. cinta banget! Kemarin gw akhirnya berhasil menikmati Rectoverso, filmya, yang dipercantik oleh lima perempuan  tidak biasa bernama Marcela Zalianty, Rachel Maryam, Olga Lydia, Happy Salma, dan Cathy Sharon.

Lima tahun setelah pembuatan, gw masih jatuh cinta sama Rectoverso. Malaikat Juga Tahu, Aku Ada, dan Peluk. Itu tiga lagu dan cerita yang jadi kesukaan gw dari Rectoverso. Hmm.. satu lagi sih. Itu tuh Lukman Sardi. Damn, he's so charming! ^__^  Dulu, gw dan Gregorius Magnus Finesso, sahabat gw, ga akan beranjak dari kost masing-masing sebelum nonton video klip Malaikat Juga Tahu. Walau singkat, video musik itu sukses mengubek-ubek emosi jiwa.   

Tahun 2013, Rectoverso menjelma menjadi film omnibus. Ada lima cerita, dari total sepuluh cerita ,di dalam Film Rectoverso. Jalur kelima cerita tetap sama. Banyak nama-nama handal yang menjadi tokoh di depan dan juga di balik layar. Pemeran cameonya pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Berbagai selebritas hingap sesekali di sana dan di sini. Seharusnya film ini keren. Gw yakin film ini bakal sukses mengubek-ubek emosi. Sinematografi film ini sih juga mantep. Indah! Tapi ternyata ubekannya nanggung. Seperti biasa, Rectoverso lebih mampu mengekspresikan segenap jiwa yang berada dalam sebuah buku dan lantunan lagu. 



Film diawali dengan adegan Lukman Sardi yang memainkan biola lalu memeriksa piramida sabunnya. Gw langsung ngeh pasti ini Malaikat Juga Tahu. Lukman Sardi, si Abang, merupakan penderita keterbelakangan mental. Abang tinggal bersama Bunda yang membuka kost bagi pekerja muda di Jakarta. Keterbatasan tidak membuat Abang terlihat menderita. Abang mampu membantu pekerjaan rumah tangga di sela-sela rutinitasnya yang tidak biasa. Kehadiran Lea, salah satu penghuni kost Bunda yang diperankan oleh Prisia Nasution, memberikan arti luar biasa bagi Abang. Lea sangat sabar dan begitu memahami jiwa Abang. Abang pun jatuh cinta. Namun cintanya yang begitu besar terhadap Lea terbentur kehadiran Hans, adiknya Abang yang sempurna dan manis. Hans mencintai Lea dengan segala keindahan dalam diri Lea. Sedangkan Abang, dia mencintai Lea dengan sepenuh hati dan jiwa. Pertemuan akting Lukman Sardi, yang walau menurut gw agak sedikit kurang greget menjiwai karakter penderita keterbelakangan mental, dan Prisia Nasution bisa jadi kunci utama pencapaian klimaks cerita. Adegan ketika Lea membaca secarik kertas berisi tulisan Abang menjadi titik poin yang sukses membuat gw tercabik-cabik. Aihh....

"Seratus sempurna
 Kamu satu tapi lebih dari sempurna"


Cerita kedua, yang muncul dengan alur berlompatan, berjudul Firasat. Dalam cerita ini, Asmirandah, Dwi Sasono, dan Widyawati beradu argumentasi tentang firasat. Mereka berdua memang anggota klub firasat yang bahu-membahu menghadapi firasat dalam kehidupan. Menurut Panca, firasat merupakan cara alam untuk berkomunikasi dengan manusia. Sayangnya banyak manusia yang mengacuhkan percakapan dengan alam padahal sebenarnya manusia itu terlahir dari alam. Senja sebenarnya jengah dengan firasatnya. Dia benci dengan naluri untuk bisa mendeteksi hal buruk yang akan terjadi kepada orang lain di sekitarnya. Dia benci karena tidak bisa melakukan hal apapun untuk membatalkan peristiwa buruk. Kebencian yang berlebihan sehingga Senja tidak bisa bersiap-siap ketika firasat buruk itu ternyata ditujukan kepada dirinya. Filosofis yang dalam bahasa dan cerita yang sederhana penuh arti.

"Apapun yang akan terjadi memang harus terjadi. 
Terkadang, menerimanya merupakan satu-satunya cara untuk memahaminya. 
Semua pasti akan baik-baik saja.."

Cerita ketiga bercerita tentang persahabatan antara Acha Septriasa sebagai Amanda dan Indra Birowo sebagai Reggie. Curhat untuk Sahabat. Amanda dan Reggie menjalani persahabatan yang lama. Reggie selalu setia menjadi sahabat Amanda dengan segala kisah cintanya. Sampai akhirnya Amanda sadar bahwa seorang sahabat dengan segelas air di tangannya terasa jauh lebih berharga dari puluhan kekasih yang berprestasi. Entah telinga gw yang agak tersumbat, menurut gw Acha kurang greget menyanyikan lagu Curhat untuk Sahabat. 

Pada cerita keempat, Sophia Latjuba sukses berat membawakan peran Saras dalam Cicak di Dinding. Seksi, sederhana, dan elegan. One night stand antara Saras dan Taja berujung kegalauan jiwa. Cicak menjadi ornamen yang eksotik namun tidak sensual. Padahal di sana ada Tio Pakusadewo, the sexy man. 

"Cicak itu binatang yang penuh kesetiaan. 
Terus setia menempel di dinding walau dia sering diacuhkan manusia.
Padahal cicak terus ada di sana untuk menjaga manusia dari nyamuk"

Terakhir, ada Hanya Isyarat. Cerita tentang kelompok backpacker yang rutin berpetualang ke berbagai tempat. Mereka kerap menghabiskan waktu bersama. Sampai akhirnya, Al jatuh cinta kepada Raga yang hanya bisa dia pandangi bagian punggungnya saja. Namun ternyata Raga memiliki suatu rahasia besar sehingga Al tidak akan bisa mendapatkan cinta Raga. Namun Al sudah puas. Setidaknya, dia pernah merasakan pancaran mata coklat muda Raga walau hanya sebentar. Itu sudah lebih dari cukup. Hidup punggung!

Oiya, pengisi lagu di film Rectoverso juga bagus lho! Ada lima lagu ciptaan Dewi Lestari yang menjadi soundtrack setiap ceritanya. Nuansa jazz dan akustik membuat setiap kata dalam lagu terasa lebih menohok hati. Terimakasih ya Glenn Fredly, Drew, Raisa, dan Dira Sugandhi untuk versi baru lagu Rectoverso. Keren.. Keren... Sadis!


***


Thursday, May 23, 2013

Damai bukanlah lawan dari perang

Damai bukanlah lawan dari perang


Hati damai bisa tetap menjadi milik kita walaupun kita berada di tengah pertempuran-pertempuran yang paling dahsyat, sebab kita berjuang untuk menjadi mimpi-mimpi kita. Saat teman-teman kita telah hilang harapan, damai Pertempuran yang Baik membantu kita untuk terus berjuang.

Seorang ibu yang bisa memberi makan anak-anaknya, sorot matanya tampak damai, meski kedua tangannya gemetar karena diplomasi telah gagal, bom-bom berjatuhan, dan tentara bergelimpangan.

Seorang pemanah yang menarik tali busurnya merasa damai di dalam benaknya, walaupun seluruh ototnya tegang karena mengerahkan fisiknya.

Karenanya, bagi Ksatria Cahaya, damai bukanlah lawan dari perang, sebab mereka sanggup untuk membedakan antara yang sementara dan yang kekal. 

Bagi Ksatria Cahaya, tidak ada keniskalan. Setiap peluang untuk bertransformasi berarti peluang untuk mengubah dunia. 

Bagi Ksatria Cahaya, tidak ada kata pesimis. Bilamana perlu, dia akan mendayung melawan arus; supaya setelah lelah dan lanjut usianya, bisa dikatakn kepada cucu-cucunya bahwa dia datang ke dunia ini untuk belajar lebih memahami tetangganya, bukan untuk menghukum saudaranya.

Rest in Peace Woman
taken from www.layoutsparks.com


Dikutip dari "Seperti Sungai yang Mengalir"
Berdasarkan Pidato Paulo Coelho pada 
Pertemuan Damai di tepi Laut Mati, Yordania,21 Juni 2003

Menit-Menit Terakhir Timor Timur

Catatan menggemaskan di sebuah milis FDWB. Ahh, mesakke bangsaku!

Tulisan seorang kawan wartawan yg meliput jajak pendapat di Dili. Selamat hari Kebangkitan Nasional...
Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak. Tentang sebuah perampokan dan penipuan yang dilakukan oleh IMF, PBB, dan negara-negara kapitalis. Tentang sebuah kebodohan besar yang dilakukan para pejabat Indonesia . Poor Timor Timur, poor Indonesia … Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. ———

Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia Oleh: Kafil Yamin
Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia . Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu. Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank

Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim. Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?

Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].

Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia . Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia . Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia . Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia . Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia , hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia . Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia , demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok . Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya. “Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat. Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu. “Panggil saja saya Laffae,” katanya. “Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran. “ Timor . Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.

Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya. Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya. Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran. “Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”

Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang. Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas. Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.

(2) Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok . Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius. Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.

Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota . Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.

Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia , yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi . Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan. Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi. Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia . Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.

Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.

Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya: “Kafil, we can’t run the story,” katanya. “What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi. “We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya. “That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi. “Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?” “Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,” “I think we still can run the story but we should change it.” “ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan. Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.

(3) Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanya kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia : “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.

Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Bunda Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi. Indah. Sangat indah. Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia . Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang.

Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali ke penginapan, saya bertemu lagi dengan Laffae. Kali ini dia mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap rokok dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi sambil menikmati kopi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan .
Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.

Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen. Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, segar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal. “Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”

Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia . Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. Saya bilang ke Prabandari: “Saya bertahan. Tinggalkan saja saya.”
Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya. Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.

Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung. “Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan. “Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan. “Saya perlu lima ribu,” kata Laffae. “Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya. “Kita akan usahakan,” kata Armindo.

Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana . Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi. Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.
(4) Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.
Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.

Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.

Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.
Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.

Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua.

Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya. Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..” Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.

Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana . Itu pernah diucapkannya kepada saya. Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana. ***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.

Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.
Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.

Sore, 7 November, 1999, saya mendarat di Jakarta . (5) Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili. Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia . Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.
Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.

Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia .” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.

Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia . Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.

Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta , kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung . Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung . Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.

(6-akhir) 12 tahun beralu sudah. Apa kabar bailout IMF yang 43 milyar dolar itu? Sampai detik ini, uang itu entah di mana. Ada beberapa percik dicairkan tahun 1999-2000, tak sampai seperempatnya. Dan tidak menolong apa-apa. Yang terbukti bukan mencairkan dana yang dijanjikan, tapi meminta pemerintah Indonesia supaya mencabut subsidi BBM, subsidi pangan, subsidi listrik, yang membuat rakyat Indonesia tambah miskin dan sengsara. Anehnya, semua sarannya itu diturut oleh pemerintah rendah diri bin inlander ini.
Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.

Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat. Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun. Kenapa mau melepas Timtim dengan imbalan utang? Bukankan semestinya kompensasi? Adakah di dunia ini orang yang hartanya di beli dengan utang? Nih saya bayar barangmu. Barangmu saya ambil, tapi kau harus tetap mengembalikan uang itu. Bukankah ini sama persis dengan memberi gratis? Dan dalam kasus ini, yang dikasih adalah negara? Ya , Indonesia memberi negara kepada IMF secara cuma-cuma.
Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang. Sampai hari ini Indonesia masih menyicil utang kepada IMF, untuk sesuatu yang tak pernah ia dapatkan. Saya harap generasi muda Indonesia tidak sebodoh para pemimpin sekarang. (27 Januari 2011).

Sent from my iBBerry
powered by Bismillah

Sunday, May 12, 2013

What I learned in life is…



That no matter how good a person is,
sometimes they can hurt you; 
because of this we must forgive.
It takes years to build trust and only seconds to destroy it ..
We don’t have to change friends if we understand that friends change..
The circumstances and the environment influence on our lives,
but we are the one who responsible for ourselves..
That you have to control your acts or they will control you..
That patience requires much practice.. 
that there are people who love us,
but simply don’t know how to show it..
That sometimes the person you think will hurt you and make you fall..
Is instead one of the few who will help you to get up..
You should never tell a child that dreams are fake, 
it would be a tragedy if they knew..
It’s not always enough to be forgiven by someone,
in most cases you have to forgive yourself first..
That no matter in how many pieces your heart is broken, 
the world doesn't stop to fix it ..
May be God wants us to meet all the wrong people first 
before meeting the right one..
So when we finally meet the right one we are grateful for that gift ..
When the door of happiness closes, another door opens..
but often we look so long at the closed one.. we don’t see what was open for us ..
The best kind of a friend is the kind in which you can sit on a porch and walk…
Without saying a word & when you leave it feels it was the best conversation you ever had.
It’s true we don’t know what we have until we find it, but its also true,
we don’t know what we’ve been missing until it arrives..
It only takes a minute to offend someone, an hour to like someone,
a day to love someone, but it takes a life time to forget someone.
Don’t look for appearances, they can be deceiving, don’t go for wealth even that can fade,
Find someone who makes you smile, because it only takes a smile to make a day better,
find what makes your heart smile..
There are moments in life when you miss someone so much..
that you wish you can take them out of your dream and hug them for real..
Dream what you want, go wherever you want to go.. because you have only one life..
and one change to do the things you want to do ..
The happiest people don’t necessarily have the best of everything,
they just make the best of everything that comes their way.
The best future is based on the forgotten past..
You can’t go on well in life until you let go of your past failures and heartaches.


Saturday, May 11, 2013

Nasib Bahagia

"Kebahagiaan dalam pernikahan hanyalah masalah nasib. Kalaupun kedua belah pihak sudah saling mengetahui sifat masing-masing atau bahkan memiliki sifat yang sama sebelumnya, itu tidak menjamin mereka akan berbahagia selamanya. Perbedaan akan selalu tumbuh di antara mereka setelah mereka menikah, sehingga (mungkin) akan lebih baik jika kita lebih sedikit mengetahui tentang calon pasangan hidup kita."

~~Charlotte Lucas dalam obrolan dengan Elizabeth Bennet tentang pasangan hidup, Pride and Prejudice, Jane Austen..

untitled #29

It's May 11, 2013.
I am 29 years and 4 days old.
I have a 11 months mariage.
But still, it's so difficult for me to find the joy of being a wifey.
"Love of life", "partner of life", or "servant  of life".. ?
Yet, the single life is more suitable for me.
Maybe..
Could somebody help me..

Ah Madame  Thatcher, I am so jealous with you.. >.<

Wednesday, April 24, 2013

New Design of Dunianya Epoy

Hey.. Hey.. I'm forget to make a post about the nu appearance of my blog.  Since last March, i decided to redesign my baby blog.

Dunia Epoy. That was the earlier title of my blog. I made Dunianya Epoy on 2007 by using blogger service from Google. Just like the title, Dunianya Epoy is place for me to share my story, thought, happiness, anger, dream, and my untold hope. As the subtitle, I put this slogan : "Ketika Gw Merasa Kata-Kata Punya Kekuatan".

I create so many posts. Sometimes I get a thumb or a smile from my reader. In the other times, I get blame, hatred, threatening, and also punishment because of those posts. It is ok! I have the right to write and they have the same right to react.

So... After some tears, smiles, and spirits, i try to redesign my blog by my self. No help from Kang Gingin Tigin Ginulur or Ruben Frederik Knehans. Annnnddd... Finally it is done, baby! This is it...

Welcome to the new edition of my official purplish blog.

The World of Epoy
"I Write to Understand My Soul" --Paulo Coelho


-Epoy, while following the progress of Susno Duadji' execution on Dago Pakar, Bandung-
24042013, Depok

Celotehan Absurd Lanina dan Elnino

Suatu hari semesta mengijinkan pertemuan sukma dua angin yang ternama. Elnino si pembawa panas dan Lanina si pembawa kesejukan. Begini kira-kira celotehan mereka..

Lanina : Test.. Test.. Test..
Elnino : Test juga
Lanina : Buset sinyal pasti kesasar di Laut Pasifik deh. Baru sekarang dateng jawabannya. Kirain kamu dimakan Tasmanian Devil.
Elnino : Bahar bakar terbatas. Ini baru diidupin lagi. Ada apaan memangnya?
Lanina : Gak apa-apa cuma mau nanya aja.
Elnino : Apa?
Lanina : Kamu menyebalkan! Paulo Coelho kepanasan di Brazil. Sudah sebulan ini dia mandeg. Bukunya jadi ga kelar-kelar.
Elnino : Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
Lanina : Lagi bete ya?
Elnino : Bete ga bete, saya kan memang selalu begini. I am a free wind! Bukan salah saya kalau saya selalu bikin temperatur jadi tinggi. Kamu kan tau itu!
Lanina :  Iya sih..
Elnino : Trus knapa protes?
Lanina : Kamu marah sama saya ya..
Elnino : Apa alasannya?
Lanina : Kamu ketus!
Elnino : Biasanya kamu gak pernah protes.
Lanina : Saya minta maaf deh.
Elnino : Maaf untuk apa?
Lanina : Saya juga ga tau.
Elnino : Kamu aneh!
Lanina : Ah biarin aja..
Elnino : Gak bisa begitu. Kamu itu harus tetap angin sejuk yang baik.
Lanina : Sejuk untuk siapa? Saya lebih merasa seperti angin duduk. Sejuk namun bisa bikin orang mati seketika.
Elnino : Kamu itu angin sejuk yang baik. Seenggaknya di dalam dunia saya.
Lanina : Jangan bilang gitu ah.
Elnino : Kenapa?
Lanina : Karena aku benci itu. Aku benci kamu.
Elnino : Kita punya hak yang sama untuk membenci dan mencinta.
Lanina : Makasih ya.
Elnino : Sama-sama.
Lanina : Kamu sok tahu..
Elnino : Kamu sok tegar!
Lanina : Baiklah..
Elnino : Semangat ya!
Lanina : Jangan pergi terlalu jauh
Elnino : Ga janji!
Lanina : Ah kamu menyebalkan! Slalu bikin aku panas hati, jiwa, dan pikiran
Elnino :  Hope you'll be happy in the sun
Lanina : Kamu bukan Ben Harper!
Elnino : Lho, aku kan Mick Jagger :p
Lanina : Hihihi...  Dapet salam kalau gitu
Elnino : Dari siapa?
Lanina : Dari Mas Adam, Adam Lavine!
Elnino : Ga kenal
Lanina : Dunia kita memang beda tapi sebenarnya sama. Itu contohnya Jagger dan Lavine. Cuma selisih belasan tahun tapi kamu menganggapnya seperti Era Laela Majnun dan Era Romeo & Juliet. You're so lebay! Padahal dua hal yang satu denominasi.
Elnino : Sok tahu!
Lanina : Kamu yang ga mau tahu!
Elnino :  ...
Lanina :  ...
Elnino : Feel better?
Lanina : ...
Elnino : ...
Lanina :  Kamu mau pergi? Ya sudah sana pergi. Lanjutkan pertarunganmu dengan Samudra Pasifik. Anggap aja percakapan ini tidak pernah ada.
Elnino : Memang kita tidak pernah melakukan obrolan ini.
Lanina : Aku pergi!
Elnino : Hati-hati ya di sana... Kurangin manyunnya biar ga jadi majnun.

Lanina pun pergi sementara Elnino tetap bergemuruh di kehangatan Samudra Pasifik. Ombak kembali menari bersama dengan angin dan matahari. Semuanya harus tetap berjalan sesuai skenario semesta. Baik di bab yang manis maupun pahit.

Sunday, April 21, 2013

Ngagembel di Bandung

Hehehe... Yeahh that is me. Berangkat ke Bandung dengan duit Rp 15.000 di dompet. Dengan santainya ngikut ade gw ke travel deket rumah dan sambil cengengesan bilang: "Ongkosin gw ya!". Hehehehe.. Kalo di Cibubur Point ada tumpukan batu bata, dia pasti pengen nimpuk sebiji ke gw. :P
 
Ah tapi sebodo teuing dah. Gw kangennnnnn banget sama Bandung. Udah hampir sebulan gw jadi Epoy The Zombie Wifey di Jogja. Gw pengen cari pencerahan hidup di Bandung. Pengen sekadar bersenda gurau sama Kang Gin, Reni, Iie, Jule, dan dia yang di sana, dia yang di situ, begitu juga dengan dia yang di sebelah sanaan lagi. Banyak sih orang-orang yang pengen gw temenin. Dompet bokek dan jadilah gw ngegembel sorangan. Okeh mari menikmati Bandung dengan cara Epoy.. Aheuy!

 
 
Epoy Si Neng Butet,
Gegerkalong 20 April 2013

Friday, April 19, 2013

i'm home!

I have no house but it still feels like i'm home.
Oh Bandung, this is me...
I'm home!

Epoy,
Pasteur 19042013

Tuesday, April 16, 2013

Ada yang Merasa Pinjem Buku-Buku Ini?

Saya itu kolektor buku. Karena mulainya juga sejak kecil, koleksi buku saya ya lumayan juga. Sebagian merupakan hasil perjuangan sendiri dan sisanya pemberian orang lain. Suatu hari saya pernah mendata jumlah buku-buku yang sebagian tersimpan rapi di kediaman orang tua saya di kawasan Depok, Jawa Barat. Sebagian lagi saya tata di toko Cherishta Handmade & Design di Berbah, Yogyakarta. 

Tiba-tiba saya teringat daftar buku-buku saya yang hilang. Hilang. Raib. Tidak jelas keberadaannya. Beberapa di antaranya itu buku bagus yang oke banget. Parahnya lagi buku-buku tersebut kenangan dari orang-orang. Menyebalkan! Menyebalkan karena hilangnya buku-buku tersebut justru berawal dari kecerobohan saya sendiri. Maklum saya itu kan doyan promo tentang buku bagus ke orang di sekitar saya. Tujuan saya sih biar mereka ikut suka baca kaya saya. Masalahnya orang yang kena omongan saya itu biasanya memang males banget baca buku atau justru kebalikannya, cinta banget sama buku. Mereka yang pada dasarnya suka pusing lihat tulisan panjang cenderung lupa kalau pernah meminjam buku dari saya. Alhasil keberadaan buku pinjaman tersebut dipastikan pindah ke dunia antah berantah. Huikss...

Status buku pinjaman juga tidak kalah naasnya jika berada di tangan penggila buku. Karena tahu kualitasnya, buku pinjaman dari saya langsung deh berpindah kepemilikan. Saya juga yang salah sih soalnya suka lupa transaksi peminjaman tersebut. Sebenernya saya sudah berusaha mencatat sih tapi mencar-mencar. Jadi lupa deh. Xixixixi... Saya lupa, si peminjam pura-pura lupa. Lima bulan berlalu, satu tahun berlalu, dan buku itu secara de yure berganti pemilik. Yah no problemo lah kalau kondisinya seperti itu. Soalnya saya juga beberapa kali ngembat buku orang lain. :P

Oiya ini daftar beberapa buku saya yang hilang. Daftarnya akan bertambah kalau tiba-tiba saya kangen dan teringat sama buku pinjaman itu. Nambah luka banget sih tapi siapa tahu aja ada teringat pernah meminjem buku-buku ini dari saya. Saya doain kamu langsung jadi orang kece pangkat tujuh deh. Hehehe..



1. The Diary of Anne Frank. Kumpulah cerita harian Anne Frank selama hidupnya di kamp konsentrasi Nazi. Buku keren yang saya dapat sebagai hadiah ulang tahun dari Cherista (Rina Debora Pasaribu, Agnes Joyce Panjaitan, Natasya Christy, Intan Oktavia, dan Switenia Macrophilla).

2. Sister of My Heart. Penulisnya Chitra Banerjee Divakaruni. Buku feminis yang terangkai dalam narasi yang manis. Latar belakangnya status perempuan di India yang sangat dipandang rendah sekali. Cerita tentang persahabatan dua perempuan yang sangat bertolak belakang kepribadiannya. Sama seperti saya dan pemberi buku tersebut, Arvinna Christina Sumenge. Sedih banget buku itu hilang karena di dalamnya ada ucapan selamat ulang tahun dan foto kami berdua yang suatu hari centil berfoto di Jonas Photo, Bandung Indah Plaza versi jadul. Xixixixi..

3. The Alchemist. Buku legenda dari penulis kesayangan saya, Paulo Coelho. Saya jadi kecanduan Mr. Coelho sejak bertemu dengan buku The Alchemist ketika berkunjung ke sebuah toko buku di area kampus saya U.N.P.A.D Bandung (baca : Unpad Jatinenjer).

4. Laela Majnun. Buku super duper romantis tentang Qays dan Laela. Sepasang kekasih yang saling mencintai tapi tidak bisa bersatu karena ditentang keluarga. Sampai akhirnnya Laela mati dan Qays menjadi Majnun, orang gila. Kisah ini konon menjadi inspirasi Romeo and Juliet ala Shakespeare. Ahh...

5. Tirtaman Cilik. Ini sebenernya buku fiksi anak yang sewaktu saya kecil juga sudah terlihat tidak menarik. Tapi isinya seru! Kisah kehidupan Tirtaman manusia ikan di dunia air. Mungkin Spongebob Squarepant teradaptasi dari buku Tirtaman Cilik deh. Hehehe.. Asumsi asal bunyi nih saya!

6. Beberapa buku Goosebumps. Serial horor anak karangan R. L. Stine yang heboh sekali pada tahun 1990-an. Sebagai generasi '90, dahulu saya merasa wajib membaca buku ini. Sayang beberapa koleksi saya raib. Puhptthhh... 

7. Beberapa nomor awal Detektif Conan. Saya tidak terlalu suka komik. Tapi Sinichi Kudo, Conan Edogawa, dan permainan detektif berhasil menggoda saya. Ayoama Gosho, penulis Detektif Conan, sudah membuat lebih dari 50 seri. Saya sempat mengoleksi dari sejak Edisi 1. Perjuangan juga obrak-abrik tukang loak di Pasar Kramat Jati dan Pasar Mester, Jakarta Timur. Sayang, beberapa buku sudah resmi hilang. Huikss..


8. .... (menyusul yaaa! Sekarang tanggal 16 April 2013 pukul 4.22 pagi. Waktunya tidur. Hehehe...).


Epoy,
Berbah 16042013

MATIKAN HP DI DALAM PESAWAT!!








--Rakyat High-Class, Tapi .....

Saya sedih mendengar terbakarnya pesawat Garuda, GA 200 pada tanggal 7 Maret 2007, pukul 07.00 pagi, jurusan Jakarta-Yogyaka rta di Bandara Adisucipto. Kejadian itu sungguh menyayat hati dan perasaan.

Kemudian saya teringat beberapa bulan yang lalu terbang ke Batam dengan menggunakan pesawat Garuda juga. Di dalam pesawat duduk disamping saya seorang warga Jerman. Pada saat itu dia merasa sangat gusar dan terlihat marah, karena tiba-tiba mendengar suara handphone tanda sms masuk dari salah satu penumpang, dimana pada saat itu pesawat dalam posisi mau mendarat. Orang ini terlihat ingin menegur tetapi tidak berdaya karena bukan merupakan tugasnya.

Langsung saya tanya kenapa tiba-tiba dia bersikap seperti itu, kemudian dia bercerita bahwa dia adalah manager salah satu perusahaan industri, dimana dia adalah supervisor khusus mesin turbin. Saat dia melaksanakan tugasnya tiba-tiba mesin turbin mati, setelah diselidiki ternyata ada salah satu petugas sedang menggunaka HP didalam ruangan mesin turbin.

Orang Jerman ini menjelaskan bahwa apabila frekwensi HP dengan mesin turbin ini kebetulan sama dan sinergi ini akan berakibat mengganggu jalannya turbin tersebut, lebih fatal lagi berakibat turbin bisa langsung mati.

Cerita ini langsung saya kaitkan dengan peristiwa diatas, kalau saya tidak salah mendengar mesin pesawat tiba-tiba mati pada saat mau mendarat. Mudah- mudan peristiwa ini bukan akibat HP penumpang. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk masyarakat yang sering bepergian dengan pesawat.(KOMPAS )

Rakyat kita ini memang High class.. Handphone nya Mahal, Transportasi pake pesawat. Tapi bodohnya gk ketulungan. Ada yang gk tau kenapa larangan itu dibuat, ada yang tau tapi tetap gk peduli.. Orang indonesia harus selalu belajar dengan cara yang keras.
Buat yang belum tahu, kenapa gak boleh menyalakan Handphone di pesawat, berikut penjelasannya:

Sekedar untuk informasi saja, mungkin rekan-rekan semua sudah mendengar berita mengenai kecelakaan pesawat yang baru "take-off" dari Lanud Polonia -Medan. Sampai saat ini penyebab kejadian tersebut belum diketahui dengan pasti.

Mungkin sekedar sharing saja buat kita semua yang memiliki dan menggunakan ponsel/telpon genggam atau apapun istilahnya.. Ternyata menurut sumber informasi yang didapat dari ASRS (Aviation Safety Reporting System) bahwa ponsel mempunyai kontributor yang besar terhadap keselamatan penerbangan. Sudah banyak kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi akibatkan oleh ponsel. Mungkin informasi dibawah ini dapat bermanfaat untuk kita semua, terlebih yang sering menggunakan pesawat terbang.

Contoh kasusnya antara lain:

Pesawat Crossair dengan nomor penerbangan LX498 baru saja "take-off" dari bandara Zurich, Swiss. Sebentar kemudian pesawat menukik jatuh. Sepuluh penumpangnya tewas. Penyelidik menemukan bukti adanya gangguan sinyal ponsel terhadap sistem kemudi pesawat.

Sebuah pesawat Slovenia Air dalam penerbangan menuju Sarajevo melakukan pendaratan darurat karena sistem alarm di kokpit penerbang terus meraung-raung. Ternyata, sebuah ponsel di dalam kopor dibagasi lupa dimatikan, dan menyebabkan gangguan terhadap sistem navigasi.

Boeing 747 Qantas tiba-tiba miring ke satu sisi dan mendaki lagi setinggi 700 kaki justru ketika sedang "final approach" untuk "landing" di bandara Heathrow, London. Penyebabnya adalah karena tiga penumpang belum mematikan komputer, CD player, dan electronic game masing-masing (The Australian, 23-9-1998).

Seperti kita tahu di Indonesia? Begitu roda-roda pesawat menjejak landasan, langsung saja terdengar bunyi beberapa ponsel yang baru saja diaktifkan.

Para "pelanggar hukum" itu seolah-olah tak mengerti, bahwa perbuatan mereka dapat mencelakai penumpang lain, disamping merupakan gangguan (nuisance) terhadap kenyamanan orang lain.

Dapat dimaklumi, mereka pada umumnya memang Belem memahami tatakrama menggunakan ponsel, disamping juga belum mengerti bahaya yang dapat ditimbulkan ponsel dan alat elektronik lainnya terhadap sistem navigasi dan kemudi pesawat terbang. Untuk itulah ponsel harus dimatikan, tidak hanya di-switch agar tidak berdering selama berada di dalam pesawat.

Berikut merupakan bentuk ganguan-ganggua n yang terjadi di pesawat: Arah terbang melenceng, Indikator HSI (Horizontal Situation Indicator) terganggu, Gangguan penyebab VOR (VHF Omnidirectional Receiver) tak terdengar, Gangguan sistem navigasi, Gangguan frekuensi komunikasi, Gangguan indikator bahan bakar,Gangguan sistem kemudi otomatis, Semua gangguan diatas diakibatkan oleh ponsel, sedangkan gangguan lainnya seperti Gangguan arah kompas komputer diakibatkan oleh CD & game Gangguan indikator CDI (Course Deviation Indicator) diakibatkan oleh gameboy. Semua informasi diatas adalah bersumber dari ASRS.

Dengan melihat daftar gangguan diatas kita bisa melihat bahwa bukan saja ketika pesawat sedang terbang, tetapi ketika pesawat sedang bergerak di landasan pun terjadi gangguan yang cukup besar akibat penggunaan ponsel.

Kebisingan pada headset para penerbang dan terputus-putusn ya suara mengakibatkan penerbang tak dapat menerima instruksi dari menara pengawas dengan baik.

Untuk diketahui, ponsel tidak hanya mengirim dan menerima gelombang radio melainkan juga meradiasikan tenaga listrik untuk menjangkau BTS (Base Transceiver Station). Sebuah ponsel dapat menjangkau BTS yang berjarak 35 kilometer. Artinya, pada ketinggian 30.000 kaki, sebuah ponsel bisa menjangkau ratusan BTS yang berada dibawahnya. (Di Jakarta saja diperkirakan ada sekitar 600 BTS yang semuanya dapat sekaligus terjangkau oleh sebuah ponsel aktif di pesawat terbang yang sedang bergerak di atas Jakarta).(Varis / pertamina)

Sebagai mahluk modern, sebaiknya kita ingat bahwa pelanggaran hukum adalah juga pelanggaran etika. Tidakkah kita malu dianggap sebagai orang yang tidak peduli akan keselamatan orang lain, melanggar hukum, dan sekaligus tidak tahu tata krama?

Sekiranya bila kita naik pesawat, bersabarlah sebentar. Semua orang tahu kita memiliki ponsel. Semua orang tahu kita sedang bergegas. Semua orang tahu kita orang penting. Tetapi, demi keselamatan sesama, dan demi sopan santun menghargai sesama, janganlah mengaktifkan ponsel selama di dalam pesawat terbang.

Semoga suatu hari rakyat kita bisa sedikit lebih pintar.

Wassalam
Erva Kurniawan
Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K
Departemen Kelautan dan Perikanan

Bantu share ya biar lebih waspada !

Jiwa yang Menulis, Menulis yang Jiwa


Rosi Simamora on Facebook
7 Hour ago

Novi berumur 16. Cantik, penuh semangat, penuh mimpi. Namun suatu hari, kakinya terantuk ujung meja. Duh, sakitnya luar biasa! Bukan itu saja, sejak itu Novi sama sekali tidak bisa menggunakan kakinya. Orangtua Novi hanya pemulung, namun itu pun tidak menghalangi mereka untuk berusaha keras membawa Novi ke rumah sakit. Novi diperiksa, lalu divonis kanker, dan kakinya harus diamputasi.

Sungguh, Novi tidak pernah bermimpi akan mengalami semua ini. Namun dia tidak diberi pilihan lain. Ayah Novi tidak kuat menerima kenyataan, satu minggu setelah Novi dioperasi sang ayah pun menutup mata untuk selamanya.

Novi sangat terpukul. Dia memilih diam. Dan menutup diri. Hidup rasanya tidak berarti lagi. Di tahap inilah gw ketemu dia di bulan Januari 2013.

Sekarang udah April. Tadi ketemu relawan yang nanganin Novi, namanya Ibu Tini. Dia bercerita tentang Novi, yang sekarang sudah rawat jalan, dan suka menulis. Lewat terapi menulis itulah dia menyembuhkan jiwanya,...

***




Rosi Simamora namanya. Tulisan di atas adalah penggalan kisahnya di Facebook. Bagi bapakku, Rosi kecil merupakan salah satu keponakan kebanggaannya. Dahulu sewaktu masih lajang bapakku kecanduan merogoh kantong untuk membelikan berbagai majalah dan buku cerita anak-anak untuk Rosi kecil. Itu cerita bapak yang terekam kuat di kepalaku. Rosi kecil jatuh cinta dengan buku. Dia pun tumbuh dan besar bersama dengan buku.  

Rosi benar-benar tumbuh besar dalam rupa seorang perempuan mungil. Semakin lama, Rosi besar semakin kerasukan dengan buku, buku, dan buku. Celakanya jiwa yang kerasukan buku tersebut tidak mampu bertahan dalam tubuh Rosi besar. Jiwanya mudah haus. Jiwanya selalu gatal ingin merasuki jiwa-jiwa lain. Tanpa dia sadar, jiwanya juga merasuki jiwa kecil saya. Gara-gara dia, saya jatuh cinta dengan tulisan. Dia masih sering berkata menulis bisa menyembuhkan jiwa dan hati yang rusak. Ah, kakak! Candumu masih belum habis-habis juga.

Tiba-tiba saya teringat Albertine Endah, si spesialis biografi. Saya jatuh cinta sama ucapannya di sebuah stasiun televisi swasta. Kalau tidak salah sih sebuah talkshow tentang perempuan di Metro TV. Katanya, dia ingin tetap menjadi penulis tanpa ada embel-embel media di belakang namanya. Dia senang menjadi penulis lepas. Lepas dari birokrasi media yang memang sering menjengkelkan itu. Lepas dan bebas. 

Oke.. Oke.. Baiklah! Terimakasih Rosi Simamora dan Albertine Endah. Terimakasih sudah mengingatkan tentang kebebasan jiwa. Menulislah tentang apa pun supaya jiwamu tetap hidup. Jangan biarkan apapun di dunia ini mengekangmu untuk menulis. Rangkaian kata-kata dapat menutunmu menyusun rancangan cita, cinta, dan surga abadi. Bebaskan jiwamu dengan alunan aksara. Menulislah supaya jiwamu tidak mati!

Gambar oleh Girlfriend Book Club


"I write to understand my soul!"
--Paulo Coelho 


Epoy,
Berbah 16 April 2013




Saturday, April 6, 2013

Please Welcome, Nino and Nina!

I made these turtle felt craft about a week ago. They are the extraordinary purple because i used the unusual color. The combination of dark pink, dark purple, and light green for their shell. I could not stand to take their pictures. So, i used my camera phone and retouched it by using Lomogram. And, this is the result ^-^

Ladies and gentleman, please welcome
 Nino and Nina The Little Turtle
Retouched by Lomogram



Epoy,
Berbah, 6th April 2013