Friday, February 13, 2015

Pemuridan di Gereja? Bisa Ga Ya?

Pemuridan. Buat mereka yang aktif di dunia persekutuan, kata “pemuridan” bukanlah hal yang asing.  Biasanya, “pemuridan”  justru menjadi salah satu program kerja terbesar di dalam organisasi persekutuan yang notabene anggotanya cenderung sedikit (baca:terbatas). Di luar dunia persekutuan, “pemuridan” merupakan satu kata yang asing, banged!

Biar paham, pemuridan merupkan proses pemberitaan tentang Yesus Kristus yang dilakukan dalam konsep berkelompok. Jelasnya, pemuridan merupakan versi singkat tentang penjelasan Matius 28:18-20. Ada tiga kata kuncinya : pergi, seluruh bangsa, dan murid. Pendek kata, pemuridan merupakan proses menjadi murid dan memuridkan.

Pemuridan? Intinya belajar dong! Hooh bener banget. Kristus sendiri ingin kita, pengikutNya, kenal siapa Kristus. Jangan hanya jadi “follower” tapi “know him more”. Caranya hanya satu, ya belajar! Kita ga akan tahu cara menghitung kalau dulu sewaktu kecil tidak dikenalkan matematika kan. (Abaikan soal faktor gen istimewa ala Einstein).

Oke deal, pemuridan itu adalah proses belajar. Dunia yang tidak asing bagi anak sekolahan dan anak kuliahan. Lumrah banget jika suasananya adalah institusi sekolah atau kampus. Abaikan soal mereka yang “alergi” sama belajar tapi, terutama kampus, dua tempat itu merupakan sarang para pemikir kritis. Belajar itu dunia mereka. Pertanyaan gw malam ini, bisa ga sih “pemuridan” diimplementasikan di gereja?

Gereja merupakan sebuah komunitas (orang Kristen) yang lebih kompleks. Jumlah kuantitas mah relatif banget ya. Kompleks karena isi gereja itu beragam dari mulai anak bayi yang lucu-lucu sampai para senior lansia. Bisa gitu konsep “pemuridan” dilakukan di gereja? Mau gitu? Nemenin anak masing-masing untuk belajar aja banyak yang angkat tangan. Nah, ini meminta jemaat untuk belajar?

Pertanyaan itu berputar-putar kencang di kepala gw sejak pertama kali “kecemplung” di organisasi gereja. Sebelumnya, gw lahir dan tumbuh besar di gereja tradisional asal Sumatra Utara dengan jumlah jemaat menengah. Tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil juga jumlahnya. Gw Kristen dari lahir, sekolah di Katolik, dan memang hobi baca buku. Pengetahuan tentang Kristen udah “ngelotok” banget. Tapi baru sekitar 16 tahun tahun setelah lahir, gw bener-bener berjumpa secara pribadi sama Kristus. Masa SMA menjadi momen astral pertama gw. Ayeeh… Euforia itu diperlengkapi dengan pola pemuridan yang (terpaksa) gw ikutin ketika kuliah di Jatinangor, Sumedang tersayang. Perkantas Jatinangor menjadi rumah bagi gw bertumbuh. The end of pemuridan ala epoy? no way! Stuck iya.. Hehehe..

Sekarang gw “kecemplung” dan mencemplungkan diri di gereja yang heterogen. Akhirnya momen pemuridan dimunculkan kembali. Kontroversi hati banget memang. Hohohoho.. Hati masih bertanya? Memang bisa? Gimana mulainya? Sama siapa? Kalau banyak yang tidak setuju dan akhirnya bubar jalan gimandang? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang temanya satu : khawatir.

Sah dong gw khawatir. Pemuridan itu butuh komitmen dan kontinuitas. Sama kaya belajar matematika. Kalau ga mau buta angka, ya kenali angka.  Beuuh beraatts! ini audiensnya heterogen banget. Lebih mudah mengumpulkan massa untuk diajak nyanyi-nyanyi, makan-makan, arisan, foto studio, outbond (baca : kongkow) ke pantai, atau acara heboh lainnya. Inisiatif bermunculan tanpa perlu komando. Masih lebih mudah juga mengajak jemaat ikut ke acara yang agak lebih susah seperti donor darah, jalan sehat, dan acara fisik lainnya. Tinggal permainan publikasi yang atraktif dan sentuhan komunikasi interpersonal, hasilnya oke!  Lah ini nyuruh orang belajar? Di usia yang sudah tidak muda lagi, dan kesibukan hidup yang luar biasa. Belajar alkitab lagi! Denger kata pendalaman alkitab aja udah alergi (it happens in my big family too). Bisa ga ya pemuridan dilakukan di gereja?

Pada akhirnya sedikit demi sedikit gw dikasih pencerahan sama Tuhan. Terimakasih Tuhan, gw dipaksa mulai mempersiapkan hati di Pre Conference IDMC Januari 2015. Inti materi pada sesi Surabaya Leadership Training lalu : are you ready for stand up for Christ? Gandengan tangan dari para pemimpin gereja akan berpengaruh besar bagi kesuksesan pemuridan. Karena, gereja yang sehat itu adalah gereja yang bertumbuh.  Dan, bertumbuh itu ga hanya ke samping tapi ke dalam. Bukan hanya bangunan gereja yang bertambah besar, atau jumlah jemaat yang bertambah, atau program kerja yang bombatis, atau besarnya nominal uang yang berputar di suatu gereja. Yuk mari menjadi murid! Mari Epoy KTB lagi. Belajar juga dari Cherishta. Belajar juga dari Permen. Belajar juga dari Pra Remaja.

Dalam nama Tuhan Yesus, program pemuridan di Pos Jemaat Adisucipto dimulai..


“Karena pemuridan bukanlah program kerja semata, melainkan sebuah gaya hidup!” – IDMC 2015
      



Berbah, 2015

No comments:

Post a Comment