Saturday, January 6, 2018

Candik Ala 1975

Resensi novel

Tahun 1965. Salah satu masa yang melegenda di Indonesia. Momen pertarungan melawan komunis, dengan cara yang bengis, dan meninggalkan banyak cerita tragis. Candik Ala 1965 membawa saya kembali ke masa kelam tersebut namun kali ini dari sudut pandang seorang anak perempuan bernama Nik yang mengabiskan masa kecilnya di Solo.

Nik nama panggilannya. Anak dari pasangan yang aktif berpolitik di Partai Katolik. Nik sendiri tidak terlalu mengerti kondisi negara saat itu. Yang dia tahu, PKI itu penjahat. Tidak boleh merasa kasihan sama PKI dan simpatisannya. Bisa-bisa nanti ditangkap, dijemur di pusat kota, dibawa pergi, lalu mati.

Nik hanya anak kecil yang merasa sedih karena tidak lagi leluasa bermain dengan teman-temannya. Sebentar-sebentar pencidukan. Sebentar-sebentar datang berbagai truk tentara. Sebentar-sebentar ada dar-der-dor. Sebentar-sebentar ada mayat berserakan di pinggir jalan. Satu per satu tetangga hilang, teman dibawa pergi, dan bahkan kakaknya "hilang" karena semua yang (dianggap) berbau PKI harus mati.

Nik tumbuh menjadi gadis penari. Rasa simpatinya semakin lama semakin mendalam kepada korban keganasan pemerintah yang alergi setengah mati sama PKI. Ketika rumah tidak lagi bisa memberikan jawaban atas kegelisahan batin, Nik mencari jawaban dengan caranya sendiri dan berakhir dengan rasa rindu yang luar biasa akan kampung halamannya. Suasana Solo dengan warna langit Candhik Ala di senja hari. Langit indah berwarna kuning kemerahan.

"Yaa.. Kita bisa saja hidup di jaman yang salah..."

***

Candik Ala 1965
Sebuah Novel oleh Tinuk R. Yampolsky
Diterbitkan oleh Katakita, Juni 2011.

No comments:

Post a Comment