Thursday, October 18, 2007

Mencoba Produktif di Hari yang Fitri, Emang Bisa?

*Analisis Sok2an tentangKonsumtifitas Masyarakat Bandung


Betapa konsumtifnya Kota Bandung ini. Tingkat konsumtifitas masyarakat terus berkembang. Hari raya pun menjadi pelegalan perilaku konsumtif yang semakin menggila. Siapa sih yang mau mikir untuk berinvestasi kalo ngeliat papan diskon kaya gini. Padahal banyak keuntungan jangka panjang yang ditawarkan saat seseorang terjun ke dunia investasi. Yah, seenggaknya ini yang dibilangin sama motivator di dunia bisnis....

Mari kita ambil contoh investasi di dunia saham. Berdasarkan data frontliners Bursa Efek Jakarta hingga Juli 2006, anggota bursa yang tercatat di BEJ itu mencapai 122 anggota. Total investor saham yang tercatat hingga Juli 2006 di Bursa Efek Jakarta berkisar 120 ribu. Sekitar 74% investor pasar saham merupakan pemain asing dan hanya 26% yang merupakan pemain lokal.

Branch Manager Bandung PT CIMB-GK Securities Indonesia Donny Suyanto menyebutkan hanya 10% pemain lokal yang berasal dari Bandung. Donny bahkan menyebutkan.Bandung memang great market untuk ritel namun bad market untuk investasi saham.

“Apapun yang dijual di Bandung pasti laku! Orang Bandung tidak lagi melirik harga semi sesuatu yang mereka sukai,” komentar General Manager PT Ayam Goreng Fatmawati (AGF) Indonesia Johan Wahyudi. Dari 53 cabang restorannya yang terletak di berbagai daerah, penjualan di Kota Bandung cenderung stabil. Pemasukan perbulan bisa selalu berada di atas rata-rata dan tak bergeming kala flu burung menggemparkan Indonesia.

Data statistik perkembangan perbankan Jawa Barat dari Bank Indonesia hingga Mei 2006 menunjukkan betapa berkembangnya kredit konsumsi masyarakat Bandung. Angka pada kredit untuk konsumsi terus mengalami peningkatan selama 10 tahun ini. Di saat yang bersamaan, kredit untuk investasi justru bergerak tidak stabil. Angka kredit investasi terus mengalami degradasi setelah sempat memuncak di tahun 1998.

Pada tahun 1995, kredit konsumsi Kota Bandung berada di angka Rp 927.753 juta (sekitar Rp 927 miliar). Selama 10 tahun, angka ini terus bergerak naik hingga mencapai Rp 6.384.626 juta (sekitar Rp 6 triliun) di April 2006.

Sementara itu, penggunaan kredit untuk investasi justru bergerak menurun pada periode yang sama. Pada tahun 1995, kredit investasi Kota Bandung berada di angka Rp 3.939.129 juta (sekitar Rp 3 triliun). Angka ini sempat meningkat menjadi Rp 7 trilyun pada 1998 namun terus menurun dan akhirnya berada di angka Rp 4.742.004 juta (sekitar Rp 4 triliun) di April 2006.

Minat masyarakat Bandung untuk berinventasi tergolong rendah. Masyarakatnya cenderung konservatif. Sekalipun akhirnya berminat terhadap investasi, mereka lebih memilih investasi yang mendatangkan fixed income. Padahal, dunia investasi saham mendatangkan keuntungan besar jika kita mau sedikit belajar.

Coba kita aplikasikan pada dunia nyata. Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandung Askary Wirantaatmaja pernah bilang, satu orang turis mancanegara itu menghabiskan Rp2juta/orang/ hari. Sementara itu, turis lokal hanya Rp1juta/orang/hari. Peredaran uang di bulan puasa sampe H+7 lebaran 2006 katanya sih mencapai Rp300 miliar (ini selama sebulan lho!). Tahun ini meningkat menjadi Rp330 miliar.

"Padahal kita kehilangan 75% turis mancanegara gara-gara pamor Aa Gym turun," katanya kadis paling gaya di Pemkot Bandung. Kalo dihitung kasar, Paris Van Java ini kehilangan Rp60 miliar dari kantong2 turis Asia selama lebaran tahun ini.

Hmm.gw jadi berandai-andai. Seandainya pada Idul Fitri tahun ini kita mendapat uang tunjangan hari raya sebesar Rp 1,5 juta. (Seandainyaahhhh!!!!) Seandainya lagi berminat untuk membuat sesuatu yang berbeda. Berdasarkan pengalaman pribadih eike, para broker pun berkata: "Sisihkan sebagian uang sebagai modal masuk ke pasar modal!"

Mari kita ambil contoh Bimantara Citra Tbk. (hahaha..ini mah subjektif sekali!) Berdasarkan data September lalu, saham Bimantara berada di angka Rp 2.275 per lembarnya. Sebelumnya, saham Bimantara berada di angka Rp 1.520. Setidaknya kita hanya membutuhkan sekitar Rp 1,2 juta jika ingin membeli satu lot saham (500 lembar saham) yang menjadi patokan pembelian minimal.

Cobalah bertahan untuk berlebaran dengan sisa uang Rp 300 ribu. Toh ini jauh lebih baik ketimbang membeli ponsel CDMA terbaru seharga Rp 1,5 juta hanya untuk bergaya pada saat berlebaran bersama sanak saudara. Ponsel yang harga purna jualnya terus menyusut dan hanya menambah pengeluaran untuk biaya pulsa. (Inilah yang menurut Robert Kiyosaki disebut sebagai liliabilitas atau kewajiban karena hanya menghabiskan uang dan bukannya menghasilkan uang kita)

Siapa yang dapat menyangka jika ternyata usai mudik nanti saham Bimantara meningkat menjadi Rp 3000 per lembarnya. Uang Rp 1,2 juta kita berkembang menjadi Rp 1,5 juta. Hanya dengan sedikit keberanian untuk mengambil resiko, kita untung Rp 300 ribu. Bisa dibayangkan berapa keuntungan yang kita raih jika Bimantara –salah satu Top 20 Gainer ini- terus memiliki kinerja yang baik. Tidak tertutup kemungkinan nilai sahamnya bergerak naik.

Ini hanyalah sebuah edukasi invatasi yang perlu diperhatikan. Sudah semestinya kita mulai mengurangi kecenderungan konsumtifitas kita. Sektor konsumsi memang merupakan salah satu indicator kemajuan Indeks Pembanganan Manusia. Namun, Indonesia (atau pun Jawa Barat yang bercita-cita memiliki IPM 80) akan berkembang dengan semu jika kita berpegang pada sektor konsumtif.***

No comments:

Post a Comment