Friday, March 22, 2013

Epoy Sekarang

Kemarin malam saya bersua dengan Yogi Pasha. Dia adalah Koordinator Liputan saya ketika saya masih menjadi awak media yang bernaung di bawah nama Hari Tanoesoedibyo. Bukan bermaksud mengikuti jejaknya Wisnoe Moerti yang beberapa hari melemparkan postingan nostalgia mengenang detik-detik kepergian para kurawa dari Jl. Aceh 62, namun saya sebenarnya hendak menjajal sebuah fitur jejaring sosial baru bertajuk We Chat.

Pada akhirnya kami pun berbincang tetang momen yang hilang. Maklum, saya sudah terlalu lama mengasingkan diri dari kawan-kawan lama. Kang Ogi kaget karena ternyata saya menikah pada pertengahan Juni lalu. Pelanggaran! Itu katanya. Hahahaha.. Maaf ya.

Beberapa minggu lalu saya sebenarnya juga mendapat omelan senada. Kali ini berasal dari gadis mungil bernama Pratiwi Esther Novita Manik yang 100% batak itu. Dia, yang sudah kembali ke alamnya di dunia ekonomi yang sebenarnya ala HSBC, menawarkan posisi Tim Kreatif Detik Finance kepadaku. Sungguh tawaran yang menggiurkan! Sayang aku harus kembali menolak tawaran manis tersebut dengan alasan aku sudah menikah dan sekarang tinggal di Jogja. Sementara aku seperti ingin menjedotkan kepala ke tembok, Tiwi kaget mendengar kabar terbaru tentangku

Kang Yogi dan Tiwi hanyalah segelintir orang yang merasa gemas setengah mati karena aku jarang bertukar kabar. Entahlah.... Mungkin karena kepercayaan diriku masih terjun bebas dari level 9 ke level 6 dan sekarang ambles ke level 4. Aku jarang sekali berceloteh baik di dunia maya maupun dunia nyata. Syaraf otakku sepertinya mati suri.

Aku semakin menarik diri dari semuanya pasca sebuah proses kriminalisasi di kawasan Sabirin 16. Bahkan sepertinya larangan untuk mengomunikasikannya cerita di balik tragedi itu masih berlaku. Terutama kepada seorang ibu keren dari seorang pangeran kecilku yang bernama  Kinatresnan. Mereka takut  akan efeknya.

Akhirnya saya terjebak dalam sebuah dunia asing bernama Yogyakarta. Sungguh sekarang tinggal kejenuhan yang tersisa. Antusiasme untuk berkomunikasi, apalagi berdiskusi, semakin menipis. Jiwaku terjebak dalam sebuah ruangan berukuran 5x8 meter yang lebih mirip garasi penitipan barang ketimbang ruko benda-benda seni. Sementara itu badan ini terpaksa membiasakan diri untuk menjalankan tugas asisten rumah tangga, supir, penjaga anak, dan pelayan di dapur serta tempat tidur.  It feels like i was a thing, not a human. Oohh Gosh... I miss my life in Bandung. Yaaa at least now i know how precious Bandung for me. Sometime we never know the meaning of something until we lost that
things.

-celotehangapenting-

No comments:

Post a Comment