Thursday, July 3, 2008

Bensin Stimulus Inflasi, Saya Mo Jadi Lilin Aja Ah...


Hmm... akhirnya malem ini berlalu juga. Such a hard week cos i really become a single fighter in Seputar Ekbis Jabar. Sekarang itu hari ketiga dan rasanya lumayan juga. Godaan dan hasutan masih tetep masuk. Ga temen-temen, ga narsum, dari tua ampe yang muda semuanya hobi menstimulus sesuatu yang katanya buat kebaikan masa depan gw sendiri. Anehnya walo eneg setengah mati tp kok gw masih cinta ama ya. Emang gw itu orang Indonesia (jangan dibaca Endonesia) banget, easy to forgive sumthing. Hehehe tapi ilmu komunikasi tetep berlaku ya. Forgiven but not forgotten..


Jadi inget kalo gw sempet punya tulisan yang belom sempet diposting karena beberapa alasan. Ah sebodo teuing lah. Annas bener dan Kang Gin juga. Tapi saya mau jadi manusia yang bebas menyuarakan apapun yang saya mau. I am a free man. Ga mau kalah sama binatang yang punya kebebasan yang luas banget itu. This is a special gift that He already gave to me by His sacrifation.

Saya ga suka jadi bensin ato korek api yang bisa nyulut kobaran api yang luar biasa. Kalau boleh milih saya lebih suka jadi lilin aja. Lilin yang kepake buat liatin kenyataan yang selama ini dinaungi gelapnya malam. Suatu saat lilin emang bakalan abis tapi seenggaknya saya pernah berguna...
Hidup kan terlalu bagus buat dilewatin begitu aja. Pede bener tp emang harus pede dunks.

PS : temen-temen, semangat ya!



^-^ ... ^-^ ... ^-^... ^-^ ... ^-^ ... ^-^ ... ^-^ ... ^-^ ... ^-^... ^-^ ... ^-^ ... ^-^... ^-^ ... ^-^ ... ^-^



Kisah Tentang Manusia Bodoh di Negeri Kurawa

Saya merasa menjadi manusia bodoh. Entah mengapa, pikiran ini begitu membahana dalam sekujur tubuh saya yang makin gembul saja ini. Khawatir dengan kebuncitan perut saya? Bukan, bukan itu. Saya lebih khawatir melihat buncit beberapa bapak di sekitar saya.

Bagaimana tidak, saya merasa sudah cukup berbakti pada Negeri Kurawa ini tetapi tidak pernah sedikit pun rasa penghargaan yang dberikan kepada saya. Kalaupun ada, tidak seberapa jika dibandingkan dengan perjuangan yang saya lakukan demi negara tempat yang sudah saya pilih sebagai kendaraan saya ini.

Sekarang ini masa pengabdian saya tepat 22 bulan. Tahun pertama, saya mencoba mengunci pintu hati agar tidak mengeluh saya lebih memfokuskan diri pada pembentukan diri saya buat jadi wartawan yang baik. Maklum, saya wartawan fresh yg ungraduate. Ucapan yang mengatakan : "kita ini masih loyo. Keobobolan terus. Kurang sana-sini", saya terima sebagai
cambuk untuk maju. Begitu cintanya saya pada profesi ini sampai2 tidak ada setitikpun perasaan untuk mundur. Saya justru merasa bersalah karena tidak bisa menepati jam deadline dan memenuhi kewajiban untuk menyetor "upeti" yang layak muat.

Tahun kedua, riak-riak semakin kencang namun kembali padam saat melihat wartawan yang paling saya hormati dikeluarkan dari Negeri Kurawa. Maklum, orang itulah yang membimbing saya pada waktu saya magang belajar jadi srikandi di negeri kurawa. Saya begitu kagum dengan cara dia mempertahankan idealisme dah dia layak menjadi arjuna jempolan Negeri Kurawa.

Saya masih tidak menemukan alasan yg realistis saat melepas kepergian dia di pintu gerbang kerajaan. Tapi saya diam. Saya diam. Saya mulai bingung tapi saya tahu bahwa saya masih mencintai profesi ini. Sampai-sampai saya kembali belajar mengembangkan diri saat mendapat
kalimat ini (lagi) : "Apa sih masalahnya sampai kita ini masih loyo. Keobobolan terus. Kurang sana-sini"

Tahun ketiga, banyak kenyataan yang membuat saya semakin muak. Saya mau bicara realistis saja. Bukannya mau congak tetapi saya yakin banyak kemajuan yang saya raih jika dibandingkan dengan masa awal saya masuk ke kerajaan ini. BAnyak upaya yang saya lakukan sampai-sampai saya mengesampingkan tugas utama saya yang terkatung2. Saya tidak mau
berbicara banyak karena ini bukan cerita soal saya tapi soal Negeri Kurawa.

Kisah saya tidak sebanding dengan kondisi beberapa rekan saya. Perjuangan mereka luar biasa. Mereka dengan semangat 45 menjawab tantangan petinggi kerajaan yang meinta berita bagus dan punya dampak buat orang lain. Saya kagum karena banyak dari mereka yang berhasil
membuat beberapa pihak kegerahan dengan berita mereka. Entah apapun caranya. Para sumber berita itu pun mulai melakukan upaya untuk membungkam rekan saya, (skali lagi) entah apapun caranya. Taruhannya banyak mulai dari kehidaupan sosial hingga nyawa.

Namun apa kenyataan yang rekan saya terima? Hanya evakuasi sementara tanpa pertolongan biaya! Beberapa dari rekan saya kebingungan mencari tempat tinggal sementara atau setidaknya pinajman untuk mencari tempat merebahkan tubuh di daearah yang bukan jajahannya. Saya juga bingung menawarkan apa karena saya juga Cuma gaji Rp1,5 juta dan tidak mungkin menampung rekan saya di kamar saya yg ala kadarnya.

Padahal saya cukup tahu pércis berapa banyak iklan hotel yang masuk ke Negeri Kurawa. Sebagai salah satu staff divisi perekonomian, saya juga paham sekali bahwa iklan itu dibarter dengan voucher hotel yang katanya akan dijual kembali. Atau untuk kepentingan perusahaan.
Misalnya untuk fasilitas penginapan para petinggi saat berkunjung ke kantor cabang negeri kurawa. Padahal….dompet mereka tidak akan menipis kok saat harus membayar baiya penginapan mereka sendiri. Apa salahnya menyisakan sedikit bujet belanja woro-wiri di Paris Van Java ini sih. Apa ga malu kok ama pasukannya? Cuma punya gaji 1,5-2 jt tanpa tunjangan ini-itu tapi berjuang seorang diri cari penginapan saat menjawab tantangan dari para bos.

Sementara itu kondisi kursi para pemimpin di kantor cabang lebih bikin saya geleng-geleng kepala. Udah tau kondisi di daerah tapi kok sempet2nya nyari untung. Objekan sana sini dan kalo ketauan yg berwenang siap-siap cari tumbal. Sengaja cari percetakan yang murah dan kualitas tahun jebot. Hasilya, koran selalu berbayang2. Saya aja ogah kalo mau beli Koran yg gambar muka orangnya ada tiga biiji bertumpuk2. Walaupun didalamnya nyajiin
berita yg menarik. Emoh pisan walau yg jualan sekeren Ernesto Guavara.

Lalu akhirnya koran ga laku. Oplah turun. Mau deadline pas sekalipun tetap aja kalee orang rada terpaksa kalau mau beli koran kaya gitu. Blom lagi fakta penggelapan dsb yang keliatannya klise tp nyatanya ada. Namanya juga tikus. Nongol dan eksis dimana2. Mulai dari OB ampe kepala punya waktu untuk jadi tikus.

Tapi kenyataannya, yang disalahin siapa coba? Wartawan lagi! Eh…ksatria maksudnya. Analisis SWOT kurawa 2007 kembali menyatakan kualitas berita kita kurang. Lah, kalau kurang
dari para pesaing ya wajar toh. Mereka punya fasilitas dan perusahaannya memberikan apresiasi kepada ksatria mereka. Wajar mereka semangat bekerja dan wajar kalau kita kalah.

Namun luar biasa namanya kaalau kita mengalahkan mereka. Tapi nyatanya….boro2 dikasih piagam penghargaan, ngeliatin ksatrianya diuber-uber preman penuh jampi2 sakti mandraguna aja si petinggi kerajaan Cuma bisa…ya gitu lah!

Selalu aja punya segudang alesan untuk menunda pemberian hak. Tetapi ngototnya seabrek2 waktu nyuruh ksatria melakukan kewajiban. Lah iya wajarlah kalo dia udah jadi kesatria… Status masih pembantu ksatria tapi tugas yang dikasih standar ksatria. Kalau diungkit, mungkin
jawabannya seperti ini "Ya, kalau anda bergabung dengan kami kan sudah tau beberapa persyaratan. Siap bekerja dalam tekanan. Kalau tidak suka, ya silahkan. Banyak kok yang minat jd ksatria di sini," Hehehe…walo mereka juga pasti kalang kabut kalau ksatria mereka pada keluar. Karena itu berarti kinerja melambat soalnya ksatria yg tsisa harus kerja ekstra membiminbg dan mengcover ksatria baru…tanpa tambahan gaji…

Bikin program ini-itu tanpa mikir panjang. Emangnya tenaga yang ada udah siap? Kok divisi lain belum ada persiapan apa2. Padahal ini kan proyek bersama. Kok yang lain masih bisa traveling ke Kota ini itu demi yg namanya menjaga hubungan baik dengan klien. Pdhal tugas masih
banyak dan waktu udah ditetapin.

Pada akhirya, redaksi…eh ksatria maksudnya… kena getah. Kerjain bagian yg tidak dikerjakan oleh divisi lain itu. Pdhl udah repot ngurus anak2 baru, tugas liputan, dan tugas lainnya. Saya yakin ya…kalau ini gagal, yg bakal kena ya para prajurit ini. Kasian bener sih.. dibayar RP1,5
juta Cuma buat disalah2in. Yang dodolnya lagi, saya hanya bisa berkeluh kesah dan diam dengan semua perlakuan ini.

Duh saya terlalu jujur gini ya. Abis saya tiba2 merasa jadi manusia bodoh yg tidak tahu mau berbuat apa. Semoga cerita ini membukakan mata para ksatria di negeri kurawa agar bisa memutuskan sesuatu. Masa mau sih diinjak2 terus. Pilihannya Cuma "hancurkan" dan "lawan"! tapi bagaiman caranya?

-Epoy Panjaitan-
Maret 2008

No comments:

Post a Comment