Saturday, July 31, 2010

Empty Seat

Just like this blank post, it's (still) empty..

Clinton-Mezvinsky, Pernikahan Termahal Abad Ini



Kira-kira apa alasan mengapa Bill dan Hillary Clinton bersedia menghabiskan sekitar jutaan dollar pernikahan putrinya, Chelsea Clinton, dengan Mark Mezvinsky?

a. Karena Chelsea adalah anak semata wayang.
b. Karena Bill maupun Hillary jarang-jarang mengocek kantong untuk keperluan hura-hura pribadi.
c. Karena Keluarga Clinton mendapatkan besan yang tajir.
d. … [Isi sendiri jawaban Anda hehehe… :P]




Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu (31/7) menyebutkan, biaya pernikahan Chelsea menembus angka USD2-5 juta! Angka ini sebenarnya tidak terlalu gila jika yang menikah adalah sosialita internasional atau anggota keluarga kerajaan yang glamor. Yang menjadi sorotan (saya salah satunya), Chelsea merupakan anak pasangan brilian yang terkesan bersahaja. Banyak orang tertarik untuk menebak angka pasti biaya pernikahan Chelsea. Maklum, baik Bill maupun Hillary merupakan pejuang kemanusiaan yang bergerak di dunia politik, hukum, dan sosial. Tidak sedikit orang yang terheran-heran dengan gaya pernikahan yang diusung Chelsea. Benar-benar pernikahan termahal abad ini!

Chelsea (30) menikah dengan Marc (32), teman kuliahnya ketika di Stanford University, California. Keduanya mengambil jurusan kuliah yang sama yakni keuangan. Dari namanya terlihat jelas bahwa Mezvinsky merupakan orang Yahudi tulen. Marc yang lahir pada 15 Desember 1977 merupakan seorang investment banker. Dia menginvestasikan USD4juta di Golman Sachs dalam bentuk apartemen seluas 1.9002 kaki di California (www.mahalo.com).


Media setempat mencatat bahwa Marc merupakan anak dari pimpinan Kongres dari Iowa Edward Mezvinsky dan Marjorie Margoelies Mezvinsky yang berprofesi sebagai reporter NBC sekaligus anggota kongres. Edward pernah terjungkal akibat skandal korupsi dan penipuan. Kondisi yang membuat Chelsea dan Marc sama-sama sempat merasakan pahitnya hidup ketika keluarga terpuruk di lingkungan sosial. Konsekuensi yang harus dibayar mahal dari sebuah kesalahan.

Yesterday is his story! Itu dulu. Sekarang nama Clinton maupun Mezvinsky sudah kembali pulih. Waktunya untuk memadukan kegembiraan dengan pesta. Kesan glamor sudah terlihat dari prosesi pertunangan mereka. Tidak heran jika pernikahan yang sempat tertunda satu tahun ini terkesan jauh lebih luar biasa. VOA Indonesia menjelaska, Chelsea dan Marc menikah di sebuah rumah besar berhalan seluar 20 hektar di kawasan Rhinebeck, New York. Kompleks bekas jutawan John Jacob Astor IV. Letaknya hanya 3 jam berkendaraan dari New York City. Badan Penerangan Federal (FAA) menyatakan daerah sepanjang tepi Sungai Hudson sebagai zona larangan terbang selama 12 jam mulai Sabtu (31/7) tengah hari.

Tamu-tamu yang datang sudah pasti bukan orang biasa. Presiden AS Barrack Obama memang absen. Tapi nama-nama besar seperti Donald Trump, Oprah Winfrey, Steven Spielberg, Barbara Streisand, dan banyak lagi ada di antara 500 tamu undangan. Para undangan pasti penasaran ingin menghadiri pernikahan heboh anak tunggal dari pasangan mantan Presiden dan seorang Menteri Luar Negeri AS. Namun siapapun itu, mereka pasti turut menjadi orang penting karena bisa menikmati sajian, dekorasi, dan sarana mewah ala Chelsea dan Mezvinsky. Ini dia beberapa rincian keperluan pernikahan termahal abad ini :
* Gaun rancangan Oscar de la Renta atau Vera Wang senilai USD20ribu atau Rp179 juta.
* Perhiasan hari H untuk Chelsea mencapai RP224,5 juta.
* Kue pengantin oleh Sylvia Wienstock senilai Rp20ribu atau Rp179 juta. Kuenya berdesain unik dan dipenuhi hiasan menarik.
* Rangkaian bunga senilai USD250ribu atau Rp2,2 miliar. Bunga jenis Lilies Casablanca dan anggrek.
* Tenda pengantin senilai USD600ribu atai Rp5,8 miliar. Tenda itu disebut-sebut tahan air, tidak mudah roboh, dan memiliki dinding kaca.
* Katering senilai USD750 ribu atau Rp6,7miliar.
* Toilet portable senilai USD20ribu atau Rp179 juta. Toilet yang heboh. Terbuat dari bahan porselen yang memancarkan air, bermain musik, dan memiliki air panas.
* Berbagai jenis hiburan yang dibayar USD 40ribu atau Rp359 juta.
* Empat hinga enam trailer protaloo dengan biaya sekitar Rp135 juta.

Wow mantabs! Ckckckck… Chelsea oh Chelsea. Ternyata Tom Cruise – Katie Holmes pun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan seorang Chelsea Clinton. Ya semoga semuanya sepadan dengan perjuangan Chelsea dan Marc untuk menjaga komitmen seumur hidup mereka. Cuma bisa bilang, GBU guys!

Serabi Solo, Kue Orang Sabar dan Sehat!

Hehehe… Kue Serabi, atau terkadang disebut Surabi memang penganan untuk orang sabar dan sehat raganya. Ada dua daerah yang khas dengan serabinya yaitu Bandung dan Solo. Kali ini saya ingin menulis tentang Serabi Solo. Yups Serabi Solo. Bukan Surabi Bandung atau Surabi Enhai. Hihihi..

Saya mulai kesengsem dengan Serabi Solo gara-gara Milla Omarsaid. Ketika masih berprofesi sebagai Public Relation Officer untuk Hyatt Regency Bandung, Milla sempat membuat nuansa tradisional sebagai tema bulanan di Hyatt. Semuanya serba tradisional. Mulai dari lobby sampai restoran yang ada di lantai atas. Salah satu andalahnnya adalah “Warung Surabi Solo Dadakan” yang ditempatkan di lobby hotel. Berdekatan dengan Toko Kue The Cinnamons yang dapat kita lihat dengan jelas setiap masuk ke Hyatt dari arah pintu Bandung Indah Plaza.

Gila! Itu pendapat awal saya ketika mendengar promosi Milla ketika mamaksa saya dan teman-teman wartawan ekonomi lain yang tengah mencari berita (baca : makanana gratis) di Hyatt. Langsung saja Milla mengajak kami mencicipi Serabi Solonya itu. Kebetulan saya memang belum pernah tahu bagaimana sih rasa dan rupa Surabi Solo itu.

Tidak main-main, Milla membuat warung surabi dadakan yang utuh. Tidak besar memang namun lengkap. Isinya Mbok pembuat Serabi yang dia “impor” dari Solonya langsung, etalase, asisten, bahan masakan, hingga alat untuk memasak surabinya. Semuanya serba tradisional kecuali alat memasak Surabinya. Tungku tanah liat diganti dengan kompor gas dan wajan cetakan dari besi.

Jujur, ketika pertama kali melihat Serabi Solo saya merasa agak geli. Bentuknya tidak seindah Surabi Enhai. Serabi Solo itu tipis. Tebalnya sekitar 1,5-2 cm. Bagian atasnya agak mencair sehingga terkesan belum matang. Agak-agak curiga ketika saya hendak mengigit serabi. Lirik sana sini, para bule-bule kok kelihatannya lahap sekali mengunyah “kue setengah matang” ini. Ya sudahlah saya coba dan ternyata ketika mencobanya, beuuhhh enak!

Saya masih bisa menikmati Serabi Solo di Yogyakarta. Ada beberapa tempat yang menjual Serabi Solo. Dua di antaranya Pusat Jajanan Pasar di Sagan dan Serabi Solo di Sunday Morning Universitas Gajah Mada. Harganya berkisar Rp1.500/pieces. Agak mahal memang untuk ukuran jajanan pasar. Hanya dengan memakan 2-3 serabi saja perut sudah langsung kekenyangan.

Cuma buat Orang Sabar
Cerita punya cerita, orang Solo jaman dulu menyebut Serabi Solo itu Serabi Inggris. Alasannya masih simpang siur. Salah satu kemungkinannya karena Serabi Solo cenderung praktis tidak perlu memakai cairan gula untuk membuatnya manis.

Kue Serabi yang asli itu asalnya dari Kawatan atau Notosuman, Solo. Tidak ada resep rahasia dari pembuatan Serabi Solo. Kuncinya hanya satu yaitu KESABARAN. Proses pembuatan serabi itu lama sekali. Antriannya panjang sekali. (Hampir sama dengan surabi Enhai karena biasanya saya bisa menghabiskan satu gelas besar teh manis panas sebelum pesanan surabi saya datang). Barang dagangan seperti ini sulit sekali laris di daerah yang ritme masyarakatnya dinamis sekali. Bisa-bisa rugi bandar karena konsumen surabi itu harus orang yang sabar.

Penasaran ingin membuat Serabi Solo, ini salah satu resepnya. Saya salin dari Resep Tradisonal Warisan Nusantara – Serabi |OJOLALI PLACE TO ‘CANGKRUK’ dan divariasikan dengan resep dari situs lain. (PS : Saya belum pernah mencoba ya, jadi kalau ga enak berarti salahnya yang merancang resep ini, dan Anda tentunya! :P)

Bahan :
v 500 gram tepung beras
v 250 gram gula pasir yang dicairkan
v 1 butir kelapa parut dibuat jadi santan kental
v 600 cc air
v Soda kue
v Minyak goring (bubuhkan ke wajan besi atau tanah liat dengan kain yang diikat membentuk gumpalan)

Cara Pembuatan :
Tepung beras dituangi air sedikit demi sedikit sambil diaduk agar rata membentuk adonan cairan yang kental. Perbandingan tepung dan gula harus 2:1. Masukan gula putih cair ke dalam adonan, bubuhkan soda kue. Siapkan santan yang sudah dimasak matang. Panaskan wajan di atas api arang atau api gas kecil. Tuangi sesenduk sayur adonan lalu ratakan. Setelah adonan setengah matang, tuangkan santan kental sesendok sayur lalu tutup wajannya dengan penutup dari keramik atau tanah liat. Bila tepi surabi sudah berwarna coklat itu berarti serabi sudah matang.

Pesan Sponsor :
Api untuk memasak serabi jangan besar. Hanya sepanas api arang. Wajan serabi tidak boleh terkena air agar tidak lengket. Kalau ingin membersihkan wajan, gunakan minyak goring. Gunakan tutup wajan dari keramik atau tanah liat agar bisa menyerap uap air sehingga air tidak jatuh ke serabi ketika dimasak. Tutup wajan ini saja yang bisa dicuci dengan air. Kunci kenikmatan serabi terletak pada kualitas tepung beras. Makin bagus jenis beras yang digunakan sebagai tepung beras, rasa serabi akan jauh lebih mantap. Kalau males, katanya kita bisa memakai tepung beras merek terkenal. Info tambahan, akan jauh lebih baik jika menggunakan alat pembakaran tradisional dari tanah liat. Alat seperti ini memakai arang sebagai bahan bakar, bukan gas. Serabi yang dimasak tradisional pakai arang akan lebih mengembang dan menghasilkan serat yang bagus.

Tidak juga untuk Penderita Kolesterol
Bondan Winarno dalam sebuah tulisannya di grup diskusi menjelaskan, serabi solo menggunakan santan dalam jumlah yang banyak. Bahkan ketika sudah matang, serabi kembali disiram dengan santan. Komposisinya cenderung sedikit. Paling hanya 1-2 sendok makan. Yang jadi agak-agak mengkhawatirkan itu serabinya berkali-kali disiram santan. Orang-orang yang memiliki tingkat kolesterol yang tinggi sepertinya harus mikir dua kali nih untuk bisa leluasa melahap Serabi Solo. Hihihi..

Ada berbagai jenis Serabi Solo. Original version Serabi Solo warnanya putih. Di bagian pinggir dan belakang berwarna coklat dan bertekstur kasar karena panasnya tungku. Kandungan santan membuat Serabi terasa gurih. Namun jika suka yang lebih moderen bisa mencoba variasinya.

Variasi Serabi Solo biasanya bermain pada penggunaan topping-nya. Ada yang menaburi bagian atas serabi berwarna putih itu dengan cincangan Nangka, butiran coklat meses, atau pun irisan keju. Ada juga yang menggunakan pandan sehingga serabinya berwarna hijau daun. Harum! Ada juga yang menggunakan kuning telur sebagai topping. Semuanya tergantung selera.

Sebagai penutup, ini ada daftar referensi tempat jualan Serabi Solo di daerah Jakarta dan Bogor. Nanti kalau ada info tambahan langsung saya update deh.

1. Serabi Solo Jl Gandaria 1 No.77 Jakarta Selatan
2. Rumah Makan Pawon Solo Jl Kemang Raya 75B, Jakarta Selatan
3. Restoran Centhing Jl Gandaria 1 No 57A Jakarta Selatan
4. Jl Bina Marga No 1 Dekat Terminal Baranang Siang.


Friday, July 30, 2010

Anti Bakrie

“Punya nomer Esia ga? Berapa biar nanti kita teleponnya enak”
“Esia? Kagak.. Kagak akan minat punya Esia”
“Kok bisa”
“Gw ga suka sama Bakrie!”
“Hahaha…bisa aja lo Poy”

Yoha, gw emang ga pernah tertarik sedikitpun sama semua produknya Bakrie Coorporation. Sekalipun produknya menawarkan kemudahan yang murah sekali. Duh bener-bener ga berminat deh terjerat sama kaki guritanya Bakrie. Huahahaha…

Bagi semua, semua yang berhubungan sama Bakrie itu haram hukumnya. Hihihihi. Semakin banyak gw mendapat informasi tentang perjalanan bisnisnya, semakin gw mantap dengan sikap gw. Selalu saja ada keburukan tentang Bakrie. Keburukan yang terbesar tentu saja mengenai lumpur derita dari Lapindo. Di luar itu masih banyak keburukan lainnya.

Akhir 2009 Direktorat Jenderal Pajak menemukan dugaan pidana pajak dari tiga perusahaan tambang Bakrie yaitu PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources Tbk., dan PT Arutmin Indonesia. Ketiga perusahaan ini disebut-sebut memberikan Surat Pemberitahuan Tahunan yang fiktif. Mereka meninggalkan jumlah tunggakan pajak yang tidak sedikit. Jumlahnya Rp2,1triliun. KPC menunggak RP1,5triliun, Bumi Rp376miliar, sedangkan Arutmin mencapai Rp300miliar.

Baru-baru ini empat perusahaan Bakrie lainnya kembali bermasalah karena memberikan laporan keuangan yang salah. Empat perusahaan itu yaitu PT Bakrie and Brothers Tbk. (BNBR), PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk. (UNSP), PT Energi Mega Persada Tbk, (ENRG), dan PT Benakat Petroleum Energy Tbk, (BIPI). Bahkan setelah diberi waktu, para emiten tersebut tidak dapat memberikan data yang diminta bursa secara memadai mengenai penjelasan kesalahan penyajian penempatan dana berbentuk deposito. Dasar ndabled! Udah tahu salah eh bukannya dibetulin. Emang niatnya udah jelek sih mereka itu.

Direktur Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito akhirnya mengumumkan secara resmi kepada publik (22/7) bahwa pihaknya menjatuhkan sanksi terberat dalam dunia perdagangan saham. Keempat emiten tersebut diganjar peringatan ketiga dan denda masing-masing Rp500juta terkait kesalahan penyajian laporan keuangan triwulan I-2010.

Andreas Harsono, dari Pantau, juga bener-bener sebel berat sama Bakrie. Dia mempublikasikan surat terbuka untuk mengembalikan Bakrie Award yang diorganisir oleh Freedom Institute (Kalau gw ga salah). Setiap tahun Bakrie memang rutin memberikan Bakrie Award kepada orang-orang berprestasi di Indonesia. Dalam ajang penghargaan ini, pemenangnya tidak sekedar membawa pulang trofi Bakrie tetapi juga uang tunai yang jumlahnya sepertinya mencapai ratusan juta rupiah. Sengaja banget menyuap tokoh-tokoh masyarakat agar bisa menjadi agen pencitraan Bakrie kepada kelompoknya. Uhhh teori komunikasi banget! Masyarakat jaman sekarang sudah selektif terhadap infomasi yang diterimanya. Ga gampang percaya. Tetapi ketika yang menyampaikan informasi itu orang yang terpandan, orang yang memang pintar, orang yang cendekiawan, masyarakat cenderung lebih mudah dipengaruhi. Huhuy..


Para penerima Bakrie Award

BA 2003 Sapardi Djoko Damono (kesusastraan) dan Ignas Kleden (sosial-budaya).
BA 2004
Goenawan Mohamad (kesusastraan) dan Nurcholish Madjid (sosial-budaya)
BA 2005
Budi Darma (kesusastraan), Sri Oemijati (kedokteran).
BA 2006
Arief Budiman (pemikiran sosial), dan Iskandar Wahidiyat (kedokteran).
BA 2007 Putu Wijaya (sastra), Sangkot Marzuki (kedokteran), Jorga Ibrahim (sains), dan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Sukamandi, Subang (teknologi).
BA 2008
Taufik Abdullah, Sutardji Calzoum Bachri, Mulyanto (kedokteran), Laksamana Tri Handoko (ahli fisika), Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
BA 2009
Sajogyo (pemikiran sosial), Ag Soemantri (dokter), Pantur Silaban (sains), Warsito P. Taruno (Teknologi), Danarto (Kesusastraan).

Sunday, July 25, 2010

BONDAN PRAKOSO FADE 2 BLACK-Ya sudahlah(Original clip)

Segar Aneh ala Sarsaparilla


Suatu sore sepupu saya mengajak makan di Pondok Cabe di Jl C. Simanjuntak Yogyakarta. Di tempat yang nyaman dan murah itu, saya berkenalan dengan minuman aneh. Lidah saya langsung jatuh cinta. Indo Saparella namanya.

Selidik punya selidik ternyata Indo Saparella diadaptasi dari Sarsaparila. Minuman yang pernah populer di wilayah Yogyakarta. Pernah? Hooh! Sekarang katanya jarang sekali nongol di tempat-tempat komersial. Saya sendiri baru mencicipi Sarsaparila di Warung B2 BIE yang berada di sekitaran UIN Sunan Kalijaga (Hahaha ironis yang menguntungkan bagi orang seperti saya ^^ ).

Indo Saparella dan Sarsaparila minuman yang menyenangkan. Rasanya unik. Bisa dibilang mirip seperti rootbeer karena memang sama-sama terbuat dari akar tanaman. Bahan baku utama minuman yang satu ini adalah tanaman sarsaparilla. Jika suka sama yang ribet-ribet, sebut saja Smilax regelii (jika merujuk website Indo Saparella) atau Smilax aristolochiaetolia (versi Idha Saraswatinya Kompas). Sejenis tanaman perdu yang merambat dan berduri. Smilax sebenarnya tanaman aslinya wilayah tropis Amerika dan Hindia Barat. Di Yogyakarta, kita dapat menemukannya di sekitar Umbulharjo yang terletak di pinggiran kota.

Nama sarsaparilla berasal dari berasal dari kata zarzaparilla. Dalam bahasa Spanyol, kata “zarza” memiliki arti semak-semak sedangkan “parilla” itu “tanaman anggur yang kecil”. Di luar negeri, sarsaparilla sudah dikenal sejak lama. Tidak hanya sebagai minuman tetapi juga penyedap rasa makanan dan obat-obatan tradisional. Mengalami puncak popularitas pada pertengahan 1800-an.

Minuman versi asli sarsaparilla terbuat dari akar-akaran smilax yang dikeringkan. Setelah itu sarsaparilla ditambah dengan air karbonasi sebagai penambah aroma minuman. Air karbonasi ya, bukan alkohol! Jadi kategorinya soff drink, bukan hard drink. Karbonasi itu terjadi ketika karbondioksida dilarutkan ke dalam air atau larutan encer lainnya. Sekilas tentang soft drink, ternyata ada banyak nama untuk soft drink. Orang di Amerika serikat menyebutnya sebagai soda, soda pop, pop, atau tonik (khusus di daerah Timur Laut AS. Orang Kanada juga mengenal soft drink dengan nama soda atau pop. Sementara itu orang Inggris menggunakan istilah fizzy drink dan terkadang orang Irlandia memakai istilah minerals.

Sekali lagi, tidak ada alkohol. Jadi masih aman di gigi tetapi tetap menyegarkan dahaga. Kemungkinan keropos masih jauh lebih cepat dibandingkan ketika menegak “Bukalah Semangat Baru” dan sejenisnya ^^. Palingan tidak aman di kantong. Hehehe…

Sarsaparila memang terlihat secara kasat mata seperti minuman abad jahiliyah. Botolnya kaca seperti minuman limun pada umumnya namun menggunakan penutup dari kayu yang dijepit dengan besi. Label namanya pun sederhana. Hanya kertas fotocopy berwarna kuning. Besar kemungkinan kita khawatir ketika pertama kali melihatnya. Tapi aman kok! Setidaknya ada tulisan izin dari Departemen Kesehatan di kertas labelnya. Penampilan boleh jadul kendati demikian tidak dengan harganya. Harga sebotol Sarsaparila sekitar Rp8.000-Rp9.000. Lumayan mikir juga kalau terlalu sering belanja Sarsaparila.

Versi modern Sarsaparila tertuang dalam minuman cantik bermerek Indo Saparella. Hendrawan Judianto dan lima orang rekannya memiliki alasan tersendiri ketika mendirikan Dea & Jes Tirta Seger Beverages, produsen Indo Saparella. Target konsumen Indo Saparela itu masyarakat modern yang banyak menghabiskan waktu bersantapnya di restoran, rumah makan, kafe, dan sebaginya. Botolnya memang indah dilihat mata. Mirip seperti botol jin tapi terbuat dari bahan dasar kaca. Siapkan saja uang Rp3.000-Rp6.000 untuk menikmati 300 ml Indo Saparella atau Rp6.000-Rp10.000 jika berminat membawa pulang botol cantik itu.

Silahkan mencari Sarsaparila ataupun Indo Saparella dimanapun itu. Tapi rasanya kurang lengkap kalau belum mencoba rootbeer local ketika berkunjung ke Yogyakarta. Selamat mencoba!

Antara Lumba-Lumba, Musik, dan Bondan Prakoso

22 Juli 2010 – 7:24 PM – Sagan Beberapa hari terarkhir ini saya lagi sering mendengarkan lagu “Ya Sudahlah”. Pertama kali tahu lagu yang satu ini ketika berkunjung ke Kalasan, daerah perbatasan antara Sleman dan Solo. Walau ga ngeh siapa sih penyanyinya, saya suka banget lirik dan musik awalnya yang akustik banget. “Ini lagunya Bondan Prakoso sama Fade 2 Black, tante,” celetuk Geovanny, ponakannya Ruben yang lebih sering dipanggil Jovan itu. Jiahhh saya langsung kaget. Pikir saya, busyet deh kecil-kecil udah tahu Fade 2 Black. Ternyata judul lagunya itu “Ya Sudahlah”. Memang, yang melantunkannya itu Bondan Prakoso bersama band barunya, Fade 2 Black. Semakin sering saya mendengarkan lagu ini semakin saya gatal ingin menulis tentang Si Lumba-lumba yang satu ini. Cekidot…

Si Lumba-lumba Idola 1990-an
[Baca dulu deh biografi Bondan. Ceritanya intro nih :P ]
Lahir : Bondan Prakoso (Namanya asli Jawa tenan)
Panggilan : Mr. B
Lahir : Jakarta, 8 Mei 1984 (Tepat satu hari setelah saya lahir.. hihihhi!)
Orangtua : Lili Yulianingsih (ibune) & Sisco Batara (bapake)
Istri : Margareth Caroline Prakoso (Astajim…ternyata dia udah bapak-bapak)
Anak : Kara Anabelle (tahun 2010 berumur 1,4 tahun)
Tahun aktif : 1988-sekarang
Pekerjaan : Musikus, Penulis Lagu, Pemain Bass, Produser Rekaman, Arranger Jingle (Musik abis!)
Instrumen : Vokal, Bass, Gitar
Website : www.rezpector.com
Alamat : PO BOX 1281 JKS 12012


Nama Bondan Prakoso pasti tidak asing di telinga anak-anak kelahiran 1980-an seperti saya. Kala itu dunia hiburan anak masih sarat dengan lagu yang 100% anak-anak. Ini suatu anugrah tersendiri lho! Bertolak-belakang dengan kondisi saat ini karena anak-anak lebih familiar dengan lagunya “orang gede” karena penyanyi cilik udah kaya badak bercula satu, alias langka banget. Takut disangka ekspolitasi anak kali ya. Hehe..

Masih banyak penyanyi cilik di era 1990-an. Salah satunya Bondan Prakoso yang “nyemplung” ke dunia hiburan sejak tahun 1988. Selain Bondan, masih ada nama-nama lain seperti Enno Lerian, Fajar Bahari, Puput Melati, Eza Yayang, dan Agnes Monika. Menyusul kemudian Joshua, Trio Kwek-Kwek, Chikita Meidi, Tasya, dan terakhir itu Sherina yang muncul di awal masa kegelapan penyanyi cilik Indonesia. Hahaha.. Gimana tidak dapat dikatakan Dark Age, lihat saja acara pencetak bintang cilik sekarang ini. Pesertanya diwajibkan menyanyikan lagu cinta-cintaan melulu. Kemauan pasar jadi raja!

Kembali ke Bondan. Namanya langsung melejit ketika dia memopulerkan lagu Si Lumba-Lumba. Saat itu Bondan masih berusia 8 tahun. Banyak anak-anak, termasuk saya dan adik saya, merengek luar biasa minta dibelikan kaset Lumba-lumba. Padahal kami berdua bukan termasuk anak yang gemar meminta sesuatu ke orangtua kami. Tapi Bondan Prakoso seperti menghipnotis pikiran dan imajinasi anak-anak seukuran saya.

“Si hitam, dari Laut Jawa
Si hitam, dari Selat Sunda
Si hitam, dari Laut Cina,
Si Hitam, dimana-mana ada… Si Lumba-lumba!”

Bondan kecil terlihat sudah menyenangi musik beraliran keras. Pada beberapa bagian lagu terasa nuansa rock-nya. Gaya yang energik, tanpa menghancurkan karakter anak-anaknya, menjadi persuasi tersendiri bagi anak-anak saat itu untuk mencintai lumba-lumba. Sepertinya saat itu, Taman Impian Jaya Ancol langsung kebanjiran pengunjung gara-gara Bondan. Suatu kebanggaan tersendiri bisa foto ketika dicium mamalia sahabat manusia itu.

Sepanjang periode 1988 hingga 1995, Bondan menelurkan delapan album yang saya juga ga tahu apa aja itu. (Hehehe dasar saya malas getting info). Tapi kiprah idola cilik yang satu ini tidak langsung terkubur seriring dengan pertambahan usianya. Bondang tetap berkarir di dunia musik sewaktu memasuki fase remaja dan dewasa muda. Kendati dengan genre yang berbeda dengan Bondan kecil.

Transformasi Si Lumba-Lumba Dewasa
Versi baru Bondan Prakoso muncul pada 1999. Si lumba-lumba menjelma menjadi bassist handal beraliran keras melalui Funky Kopral. Selain dirinya juga ada Anggara Mulia (Angga), Bobbi Wibowo (Robbi), Kristo Perwira, dan Arlonsy Miraldi (Onci). Setidaknya mereka melahirkan tiga album sepanjang 1999-2003 di bawah bendera Universal Music. Tahun 2002 Oncy cabs ke Ungu lalu posisinya diganti Iman Taufik Rachman.

Funky Kopral, dan Bondan Prakoso tentunya, tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka sempat mendapat penghargaan Anugrah Musik Indonesia (AMI) Sharp Award pada tahun 2001 untuk kategori Grup Alternatif Terbaik. Entah apa yang menggugah Setiawan Djody sehingga hartawan multi talented ini berkolaborasi dengan Funky Kopral. Album yang dirilis pada 2003 ini bertajuk Misteri Cinta dan di tahun yang sama Funky Kopral kembali meraih AMI Sharp Award. Namun kali ini untuk kategori Kolaborasi Rock terbaik.

Sayangnya setelah itu Funkop, sebutan lain Funky Kopral, sempat vakum. Mereka sempat menjelaskan alasannya melalui Rolling Stone Indoesia. Beberapa personel Funkop terbentur beberapa kepentingan. Setelah Oncy dengan Ungu, Iman semakin serius menggarap J-Rock sedangkan Bondan sudah terikat kontrak dengan label untuk berkolaborasi dengan Fade 2 Black. Tinggalah Robbi dan Angga saja.

Iman J-Rock pun menawarkan Ilham, adiknya, untuk menempati posisi bassist yang ditinggalkan Bondan. Ditambah Echank yang sudah terbiasa bekerja sama dengan Tere dan Audy, Jilid Barunya Funkop muncul sekitar Juni 2006. Inilah komposisinya. Angga pada vokal, Robbi pada drum, Echank pada gitar, dan Ilham pada bass tentunya. Mereka tetap mengusung musik funk yang dipadu dengan pop dan rock.

Bayangan masa lalu memang sulit untuk dilupakan. Tidak jarang personel Funkop jilid Baru harus mengusung dada karena dalam beberapa penampilan masih banyak penonton yang meneriakkan nama Bondan. Rasanya pedih sekali menjadi Ilham. Funkop pun sempat mendapat cibiran ketika mulai membawa tema cinta. Namun Funkop tetap berjalan dikala Bondan sudah berlari lebih dulu bersama Fade 2 Black.

Bondan Prakoso & Fade 2 Black mengusung musik Hip Hop. Bersama kelompok rap asal Bogor ini, mereka sudah menghasilkan tiga album sampai dengan 2010. Tiga lagu jagoan mereka antara lain “Bunga” pada album Respect (2005), “Kroncong Protol” yang unik itu pada album Unity (2007), dan “Ya Sudahlah” pada album teranyar mereka yang bertajuk “For All”.

Seakan lengket dengan nama Bondan Prakoso, tahun 2008 kelompok rap ini mendapat AMI Sharp Award (lagi) untuk kategori Group Rap terbaik. Album Bondan Prakoso & Fade 2 Black pun laris manis di pasar komersil musik Indonesia. Pihak Sony BMG (temennya Badan Meteorologi dan Geofisika :P hihihihi) member kebebasan kepada Fade 2 Black untuk mengatur sendiri jeda waktu pembuatan album yang satu dengan musik yang lain.

Bondan benar-benar tidak bisa dipandang sebelah mata. Maksudnya kemampuan bermain bass-nya yaaa… Keahliannya dalam memetik bass dipandang begitu atraktif bagi para pemerhati musik. Jika tidak, mana mungkin Bondan bergabung dengan 12 pemain bass dari band ternama Indonesia untuk beraksi dalam satu panggung di sekitar 2006 lalu. Sebut saja Thomas “GIGI”, Rindra “Padi”, Bongky “BIP”, dan Adam “Sheila on 7”. Pertunjukan para bassist handal ini didapuk penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai penampilan bassist terbanyak dalam satu panggung.


Si Lumba-Lumba juga Manusia Biasa
Rock-rappers yang mukanya jauh dari kesan beringas ini merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Masa perkuliahannya dihabiskan di kampus D3 Sastra Belanda Universitas Indonesia. Bondan menggilai musik namun dia juga gemar membaca dan menonton film. Ada tiga buku yang selalu dia referensikan yakni “Huru-Hara Kiamat”, “Jangan Bersedih”, dan “Chicken Soup”. Halah bukunya jauh banget dari kesan cadas. Setali tiga uang dengan masalah minuman dan makanan karena ternyata Lumba-Lumba kasep ini doyan air mineral, chicken teriyaki, nasi goreng yang dicampur ati dan pete. Huahahaha…

Bondan memilih menikah muda pada 17 Desember 2007 bersama Margareth Caroline yang akrab dipanggil Margie. Dia percaya dunia pernikahan akan membuat dirinya menjadi pribagi yang lebih baik ketimbang sekedar kongkow-kongkow bersama rekan-rekan. Sekarang malah sudah resmi menjadi bapak-bapak karena sudah ada Kara Anabelle dalam kehidupan mereka.

Dunia berita pergosipan mencatat, resepsi pernikahan Bondan dan Margie berlangsung di Restoran Cibinting, CIputat, Tangerang. Mas kawinnya jauh dari kata luarr biasa. Hanya seperangkat alat sholat dan emas 17 gram. Acaranya pun tergolong senyap karena Bondan ingin pernikahannya berlangsung dengan khidmat.

Beuuhhh mereka itu ya pasangan yang pasti langsung mendapat decak kagum penuh iri dari orang-orang. Romantis dalam kesederhanaannya. Ya setidaknya itu yang tergambar dalam berita infotainment. Hmmm mungkin bisa dibilang mereka itu versi lain dari Igor Saykoji dan istri.. Dan saya pun mengakhiri tulisan ini dengan raut mupeng. Hihihihihi… (dari berbagai sumber).


Discography of Bondan Prakoso
1988 – 1995
* 8 Album Child Singer

1999 - 2001
* 2 Album with Funky Kopral (Funchopat in 1999 and Funchedelic Rhytm & Distorsion in 2000)
* Bondan as bassist and music producer
* Universal Music Indonesia
* Funky Kopral got AMI Sharp Award 2001 for Best Altenative Group

2002
* Misteri Cinta, a collaboration album of Setiawan Djody feat Funky Kopral
* Bondan as bassist only
* Airo Record
* Got AMI Sharp Award 2003 for Rock Collaboration

2005
* Bondan Prakoso & Fade 2 Black
* Album : Respect
* Take positions as producer, composer, arranger, singer, bass & guitar but definitely he play all instrument.
Ckckckckck….
* Sony BMG

2006
* Bass Heroes (13 Top Bass Player Indonesia) including Bondan Prakoso, Thomas “GIGI”, Rindra “Padi”, Bongki “BIP”, Ronny “Cokelat”, Adam “SO7”, Indro, Bintang, Iwan Xaverius, Ari Firman, Arya, Barry Likumahua, and Nissa “Omellete”.
* Sony BMG
* Break the record MURI (Penampilan Bassist terbanyak dalam satu panggung)

2007
* Bondan Prakoso & Fade 2 Black
* Album : Unity
* Sony BMG

2010
* Bondan Prakoso & Fade 2 Black
* Album : For All
* Sony BMG

Saturday, July 17, 2010

Si Sombong Kena Batunya

Saya lagi menjari jarum. Sebenarnya sih tidak terlalu sulit. Yang jadi masalah, saya mencari di tumpukan jerami. Sudah gitu tumpukan jerami punya orang lain pula. Itu yang membuatnya terasa sulits. Kok sulitnya pake ‘s’? iya, soalnya sulitnya jamak. Hahahaha…

Jadi begini ceritanya. Sudah tiga bulan terakhir ini saya tinggal di tempat baru. Benar-benar baru. Sebelumnya saya malah sempat bermimpi ria selama 24 tahun untuk bisa bergaya seperti Neil Amstrong di bulan ketika bisa menginjakkan kaki di kota baru itu.

Jogja! Harus dibaca dengan intonasi seperti iklan yaa.. Hehe…Pertama kali saya (akhirnya) bermalam di tempat ini ketika Press Awardnya Telkomsel sekitar pertengahan 2008. Itupun karena saya menggantikan rekan saya sesama wartawan ekonomi di Seputar Indonesia Biro Jawa Barat. Kebetulan redaksi punya kebijakan agar perjalanan “hura-hura” ke luar kota macam itu digilir ke semua wartawan. Tujuannya untuk mengurangi konflik batin yang biasanya terlihat di rapat redaksi maupun dunia pergosipan di dalam dan luar kantor. Hihihi..Tapi dulu perjalanan ke Jogjanya kurang terasa. Saya malah lebih banyak menghabiskan waktu di seputaran Hyatt Regency Yogyakarta. Maklum, perempuan yang ikut hanya saya dan wartawan Radar Bandung yang lagi hamil besar. Yati namanya. Saya tidak terlalu kenal dengan anak-anak lain makanya lebih banyak berdiam. Fahmi, fotografer Sindo Jakarta, keheranan karena tidak melihat batang hidung saya yang pesek ini dalam petualangan malam. Tumben, katanya. Selebihnya saya dan rombongan hanya mengunjungi pusat kerajinan perak di Kotagede, toko resminya Dagadu, Bakpia yang saya lupa apa namanya, dan Malioboro. Abis itu langsung ke Adisucipto untuk balik ke kandang masing-masing.

Perjalanan kedua itu sekitar Maret 2009. Itupun request dari Hera, ibu tirinya Herkules eh maksudnya ade bontot saya. Hehehe… Kala itu perjalanan lumayan banyak karena Hera, saya, dan Ruben pacar saya tinggal hampir dua minggu di Jogja. Kami menginap di tempat Mbak Elis, kakaknya Ruben.

Nah sekarang itu berarti kunjungan ketiga. Lebih ding karena sebenarnya saya masih suka mondar-mandir Jogja – Jakarta – Bandung, Nah yang sekarang ini perjalanan hadiah ulang tahun ke 26 dari Ruben pas Mei 2010 lalu. Dia lagi menutupi rasa bersalah tuh karena untuk ke sekian kalinya tidak bisa merayakan ulang tahun saya. Hihihi dianya emang suka berlebihan sama saya. Udah gede juga tapi hobi banget manjain kaya anak kecil. Padahal biasanya saya yang manjain orang-orang :P

Keputusan untuk ke Jogja memang menuai banyak kontroversi. Baik dari pribadi saya sendiri maupun orang-orang di sekitar saya. Baik yang dekat maupun sok dekat sama saya. Hahay! Pasca kelulusan dari (paksa) sarjana dari U.n.p.a.d itu, keluarga saya meminta saya untuk kembali ke Jakarta. Ini dia biang keroknya. Terbukti saya memang tidak tahan Jakarta. Entah karena phobia sama Jakarta atau sama orangnya, saya langsung sakit. Parah banget, Makin lama penyakit ini mulai menggerogoti bagian tubuh vital saya lainnya. Semuanya semakin gila rasanya setelah Ruben dipindah tugas ke Sulawesi Tenggara. Mending kalo di Kendari. Ini tuh di Torobulu. Sekitar 2 jam dari Kendari jika menggunakan kendaraan offroad. Ditinggalin pacar sekaligus sahabat terbaik yang banyak mamahami siapa saya.

Andi, Bapak, apalagi Mama dan Hera benar-benar shock berat. Mereka yang akhirnya menyerah untuk memaksa saya tinggal di Jakarta memberi solusi untuk membiarkan saya pindah ke Denpasar. My hometown. Seneng banget rasanya. Tapi ada beberapa hal yang sempat membuat mereka ragu dan menarik izinnya. Saya marah dan secara sepihak memutuskan untuk pergi ke Jogja. Bukan sekedar pergi tapi migrasi. Saya sudah mempersiapkan segalanya ketika meminta izin ke orang tua saya. Mulai dari tiket sampai tempat tinggal. Mereka marah. Sedih. Namun tidak bisa berbuat banyak. Yang saya tahu, mama dan Hera menangis habis-habisan selama beberapa minggu. Bapak saya? Halah palingan sikap saya ini jadi alasan baru untuk kembali meneguk minuman sialan itu. Andi? Yaaaa begitulah.

Saya hanya bilang, tenang saja. Jogja itu kota yang biaya hidupnya murah. Penghasilan di sana memang rendah. Hanya, jangan berharap saya bekerja di tempat yang seprestisius Jakarta. Lagipula saya punya beberapa teman di Jogja jadi sepertinya tidak terlalu sulit mencari pekerjaan di Jogja. Salah satunya Miftahul Ulum, teman saya yang kerja di Harian Jogja yang nyatanya sampai pertengahan Juli ini tetap belum saya hubungin sama sekali.

Bulan pertama di Jogja, tawaran pekerjaan malah lebih banyak datang dari Jakarta. Cuman satu sih yang saya datangi tapi ga goal. Walau begitu, saya punya pengalaman menarik karena bisa menghabiskan waktu yang tidak biasa di Jakarta. Kok tidak biasa? Iya soalnya kan saya benci banget sama Jakarta. Baru kali itu saya nyamaaaann sekali tinggal di Jakarta. Gimana ga nyaman, saya tinggal di kosnya Vinna Sumenge yang ternyata deket banget sama Koran Jakarta, kantornya Uciem. Bisa ngobrol panjang banget sama Eva dan Karyo yang makin nduuuutttt. Sudah makmur dia sejak jadi pasukannya Hasan Wirayuda dan Marty Natalegawa.

Balik ke Jogja, saya kembali ke rutinitas yang slow sekali. Asli garing banget! Segaring isi Kedaulatan Rakyat. Hahaha… Uli, sepupu saya yang saya tebengin selama satu bulanan itu, menegur saya untuk mencari info tentang kerjaan di surat kabar saja. Jogja itu tidak terlalu melek sama internet. Masyarakatnya lebih mengandalkan informasi dari media massa cetak. Mereka banyak yang freak sama Kedaulatan Rakyat. Jauh lebih freak disbanding orang Bandung sama Pikiran Rakyat. Yang kaya bisa langganan, yang agak berada bisa beli ke tukang Koran, sementara yang kurang beruntung tetap bisa membaca di papan pengumuman yang ditempeli Koran. Biasanya ditempel di Mesjid, Sekolah, dan yang pasti itu ya di kantornya KR di Jalan P. Mangkubumi.

Nah ini yang saya bilang mencari jarum di tumpukan jerami. Mengapa saya kok mengilustrasikan seperti itu Soalnya mencari pekerjaan yang saya inginkan itu susaahhh bener. Ini dia yang saya katakan si sombong kena batunya. Pekerjaan sih banyak tapi gajinya itu lho. Haduh, haduh, haduhay.sodara-soadara. Adi yang sekarang sama-sama jobseeker seperti saya banyak memberikan realita tentang dunia pekerjaan di Jogja ini. Saya memang sombong banget. Sudah berates lowongan pekerjaan yang saya ketahui tapi jarang sekali yang nyantol di hati. Saya sering banget mengirimkan aplikasi ke mereka. Pikiran saya, sayang banget kertas, tinta, dan ongkos kirimnya. Ga sebanding sama gaji yang bakal saya harapkan nantinya. Hehehe…

Beberapa kali ke Job Fair. Duh malesnya ada di sana. Saya sering datang ke bursa kerja walau biasanya sebagai peliput. Belakangan ini saya datang ke bursa kerja sebagai peserta. Beuhhh perlakuannya beda sekali. Ga usah mikirin makanan gretongan deh, perlakuan orang-orang juga beda. Hasilnya juga selalu mengecewakan. Sekalinya nemu yang pas di hati eh ternyata pas lihat perekrutnya itu perusahaan outsourcing. Kaya gini yang musti hati-hati. Kalau ga jeli bisa terjebak jadi tenaga outsource. Sedih banget melihat orang-orang yang tergiur sama perusahaan yang buka lowongan itu padahal mereka malah akan terdaftar sebagai calon karyawan perusahaan lain. Sayang banget. Mending semangatnya diarahin untuk daftar di perusaahan yang beneran. Pengen bilang ke mereka tapi siapa gue?

Sebenernya jarum seperti apa yang saya cari sih. Ya jarum yang nge-klik sama seorang Evi Panjaitan. Maksudnya bukan jarum jahit yaaaa.. Habis biasanya saya sering diledekin taylor sih alias penjahit. Jahit-menjahit cukup menjadi hobi saya saja. Evi Panjaitan itu nama pena saya. Panggilan hidup saya memang untuk menulis. Saya merasa hidup ketika menulis. Merasa punya arti untuk diri saya sendiri dan dunia sekitar saya. Setidaknya ini yang saya amini ketika bergumul mencari apa tujuan hidup sewaktu di Jatinangor dulu.

Nyatanya saya mendapat informasi yang minim sekali tentang dunia penulisan di Jogja ini. Alfin, sahabat saya, pernah bilang akan membantu saya melalui teman-temannya. Dia memang orang Jogja asli jadi sangat mengetahui celah-celah. Eh beberapa hari setelah perjanjian itu dia dikirim untuk liputan ke Papua Barat. Sebel 100%! Sebel karena makin ngerasa sendiri aja di Jogja ini. Sebel pangkat dua karena saya kan ingin sekali ke Papua. Malah dia duluan yang ke sana.

Ada satu hal lain yang bikin saya jauh lebih sebeeeelll lagi. Ini gara-gata dia yang namanya tidak usah disebutkan. Seenaknya aja maksa saya kembali jadi wartawan. Nyaranin langsung masukin aja ke Koran-koran di sana. Sok tau gue banget sih, kamu! Kalau kamu baca tulisan ini, saya mau ingetin kalau saya sudah bilang tentang kondisi saya. Bo sekali-kali tolong belajar mendengarkan apa yang saya katakan. Kamu kan tahu gimana enaknya ada orang yang mau mendengarkan ketika orang lain tidak bisa berbuat hal yang sama ke kamu. Ah sudahlah! Males ngomongin tentang yang satu ini.

Eiya saya berniat membeli sepeda. Lagi hunting sepeda yang cocok nih. Hitung-hitung belajar melatih fisik. Jantung saya harus banyak dilatih. Jogging, jalan kaki, dan sit up sepertinya belum cukup. Ternyata ada kalanya saya tetap kalah dan hanya bisa merana sendirian seperti Siti Nurbaya yang tengah dipingit. Hihihi…Sekarang ga ada lagi yang merangkul, memeluk, atau sekadar memegang tangan saya ketika penyakit saya kumat. Jadi harus belajar menanggulangi semuanya sendiri. Belum nemun dokter psikosomatis di sini. Yang ada hanya dokter dari segala dokter, Tuhan Yesusku. Sekarang kalau lagi kumat cuman praise and worship yang jadi andalan. Obat saya udah habis sih. Belum nemu apotik yang mau menjual obat-obatan yang saya butuhkan secara illegal sihh. Hehehehehehe….. Hayo epoy belajar tidak bergantung sama obat.

Hmmmm tapi lama-lama jenuh. Sekarang saya sudah masuk dalam tahap desperado. Semua orang banyak menyindir. Bahkan keluarga besar udah mulai ikut campur. Mereka ragu saya benar-benar mencari kerja di sini. Mereka bilang : “Apa ga kasihan sama orang tuamu? Mereka sedih lho waktu orang-orang obrolin anak-anak mereka pas kumpul keluarga. Pulanglah kau. Apa bagusnya jogja itu?”. Ya ya ya ya.. Apa kata kalianlah. Toh kalian tidak perlu tahu jalan hidup dan jalan pikiran saya sekarang. Saya jelaskan yang sebenarnya pun tetapi gossip yang aneh-aneh akan menghinggapi saya.

Meski demikian, saya sebenernya mulai khawatir. Jarumnya bener-bener sulit untuk ditemukan. God help me, please…

Saya bilang ke Ruben, dia malah bilang :

“Lho kamu kan ke Jogja statusnya lagi liburan. Santai aja lah yang.. Pelan-pelan aja nyarinya. Kamu kan lagi istirahat. Kamu yang tau kondisi kamu udah fit belum untuk kerja (rodi) lagi..”

Hehehe dia mah bisaan aja ngomongnya. Selalu aja bikin semuanya yang mengerikan jadi dibawa santai. Perkara panik mah dalam hati aja. SMANGAAAAATTTT EPOYYYYY!!!!

Thursday, July 15, 2010



ini donna
^-^

Selamat Jalan, Eyang!



Dengan kebaya ungu bercorak emas dan sarung batik coklatnya, Eyang tidur dengan tenang. Cantik. Entah penata rias dari RS Bethesda yang canggih atau memang Eyangnya yang tidak bisa menutupi keindahannya dibalik keriput tuanya. Tubuh Eyang yang beristiarahat selamanya di kawasan pemakaman Turi, Sleman sementara jiwanya menuju rumah Bapa di Surga.

Namanya Sudiyatinah Marsam Priyo Hadi Wasito. Asilnya sih hanya Sudiyatiyah. Empat kata terakhir merupakan nama lengkap suaminya, almarhum yang pernah menjadi dokter di RS Bethesda. Beliau adalah eyang putrinya Adi. Pacarnya Uli, sepupu saya. Di Jogja, Adi dan Uli adalah keluarga saya. Setidaknya itu yang sangat saya rasakan karena kami sering menghabiskan berbagai pengalaman bersama-sama. Ya mungkin perasaannya sama seperti Hera dan Alfin ketika saya masih tinggal di Bandung. Berusaha untuk saling mengisi satu sama lain. Terkadang peristiwa membuat tali kekeluargaan terasa lebih kental ketimbang darah yang mengalir di dalam tubuh kami masing-masing.

Saya baru tahu Eyang meninggal Kamis (14/7) pagi. Tadinya Uli menelepon minta diantarkan ke Yamaha Music di Jalan Gejayan. Setelah percakapan putus barulah berondong SMS masuk ke ponsel saya. Isinya memberitahu kalau Eyang meniggal semalam di Bethesda. Kamis siang akan diadakan ibadah di rumah Adi sebelum jenazah Eyang diberangkatkan ke pemakaman di dekat kawasan Kaliurang tersebut.Duh ponsel saya memang sering mati kutu ketika ada di dalam kosan. Kata bapak saya, biasanya sinyal ponsel sering terganggu kalau berada di bawah lantai beton dan saya memang tinggal di lantai bawah. Jadi sering banget ponsel ‘ngadat’.

Adi bilang eyang meninggal pada Rabu (14/7) tepat pukul 21.00 WIB. Sebelumnya eyang sempat masuk rumah sakit karena paru-paru basah. Pasca operasi untuk menyedot cairan di paru-paru eyang, bapaknya Adi cerita ke saya kalau ternyata eyang juga punya kanker. Dia memperkirakan waktunya eyang memang tidak lama lagi. Ga nyangka eyang memang pergi hanya beberapa hari saja dari percakapan itu.

Uli dan saya sampai di tempat Adi keesokan harinya sekitar pukul 11.00. Niatnya sih mampir sebentar saja. Soalnya Uli masih mau persiapan buat Pimnas (Pekan Ilmiah Nasional) di Denpasar 20-24 Juli besok. Saya sih cuma punya satu kepenting yaitu MANDI! Hihihihi… belakangan ini sifat nokturnal saya sering kambuh. Melakukan berbagai aktifitas di malam hari dan baru tertidur di paginya. Jadi ga sempet mandi karena mikirnya hanya ke Gejayan aja.

Rumahnya Adi berada tepat di depan Kampus UIN Sunan Kalijaga. Biasanya rumahnya sepi tapi sekarang ruame banget. Dari depan sudah ada banyak rangkaian bunga. Dua di antaranya dari Museum Affandi dan GKJ di dekat-dekat sana.Beberapa kamar di bagian belakang rumah yang biasanya kosong sekarang hampir semuanya terbuka. Ada yang karena memang sudah ditempati orang dan sebagian lagi untuk meletakkan barang-barang agar tamu bisa berlalu lalang dengan lapang. Eiya, desain awal rumahnya Adi itu direncanakan untuk menjadi rumah sakit kecil. Itu mengapa ada banyak kamar. Sekarang jadinya dibuat tempat kos. Kekeluargaan di kawasan itu benar-benar terasa sekali. Para tetangga sudah mulai ramai sejak semalam. Ketika saya sampai, mereka sudah bergotong royong menyiapkan konsumsi membantu yang punya rumah. Ada yang masak air di panci gede. Mondar-mandir angkat air dan nyalain arang karena masaknya pake anglo. Di sini memang anglo masih jadi andalan untuk urusan masak memasak. Beras sudah terkumpul sekitar 2 karung. Para ibu memotong-motong bahan makanan sambil terus bercerita. Wangi masakannya membuat perut saya seriosa. Huhuhuhu… laparnya…

Terbiasa mendengar istilah kalau perempuan harus jadi parhobas alias ‘pembantu umum’ dalam acara kumpul-kumpul, Uli dan saya kurang enak juga hanya duduk. Kami itu Martha, bukan Maria. Padahal saya sepertinya menangkap harapan Adi ingin ditemani Uli untuk diam sambil mengingat pengalamannya bersama eyang. Tapi jadinya gerak juga deh. Bagi-bagi kotak kue ke para tamu. Sambil mencicipi kue tentunya! Hehehe… Roti di kotak kue jenis kedua mantap kali euy. Saya suka banget roti pisang keju fla-nya. Enaakk :P
Pendeta dari GKJ memulai kebaktian hampir menjelang pukul 13.00 WIB. Agak khawatir juga sih jangan-jangan ibadahnya menggunakan bahasa jawa. Butuh bantuan Google Translate Boso Jowo nih. Penasaran juga bagaimana kalau beneran kejadian tapi ternyata pake bahasa persatuan kok. Orang-orang yang berada di dalam rumah maupun di tenda di luar rumah mengikuti ibadah dengan khusuk. Tidak ada banjir mata. Yang ada banjir komentar bisik-bisik ketika sang pendeta mengungkit masalah tarif dasar listrik dalam kotbahnya.

Saya sebenarnya gatel banget. Ga betah duduk karena biasanya saya lebih suka mengabadikan suasana dalam kamera di ponsel. Suasana seperti ini yang membuat saya menggerutu sama Andi, adik saya, yang masih mengudeta kamera digital saya. Saya kan hobi sekali fotografi. Untung masih ada ponsel. Ya walau hasilnya kurang asoy dibandingkan kamera digital. Kebaktian selesai sekitar pukul 14.00 WIB. Iring-iringan berangkat menuju Turi melalui rute Ring Road. Uli dan saya tidak ikut ke pemakaman. Jauh euy! Saya masih belum punya SIM dan razia polisi di Jogja itu pekat banget. Semuanya kejaring. Bisa brabe nanti urusannya kalau sampe kena tilang (lagi). Nanti malem ada kebaktian lagi. Kali ini kami berdua tidak ikut. Uli masih pengen bareng Adi tuh. Nemenin Adi. Kebayang sih rasanya. Saya juga pernah ada dalam suasana seperti itu. Senang rasanya bisa mendampingi pacar ketika dalam suasanya duka. Senang bisa memberi ketenangan bagi orang yang kita kasihi. Damai…

Dan pada akhirnya manusia akan kembali ke penciptaNya. Dari tanah kembali ke tanah. Berbahagialah mereka yang mati dalam Kristus karena mereka berhak mendapatkan tempat di Rumah Bapa. Di surga yang mulia. Selamat jalan ya Eyang!

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal Tuhan kita. Supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16)

Bailamos

Kemarin saya baru saja mendapatkan satu folder lagu-lagu latin. Di sana ada sekitar 30 folk music dari Spanyol, Italia, dan Argentina. Indah banget! Kaki dan tangan langsung susah di suruh diem. Bawaannya jadi berkhayal jadi penari. Bailamos! Let’s dance, baby! Eh tapi sekarang ga nari ala King Julian ya… Si “I like t move it move it” dari Madagascar itu.

Sebenernya saya suka sekali melihat orang menari lho! Mulai dari modern dance yang digilaiin sama Sumenge-ku tersayang sampe tarian latinnya Jeniffer Lopez. Tapi jangan minta saya menari. Yang ada malah tari perut nanti. Dan, nanti Krisiandi Sacawisastra bakal jadi orang yang paling heboh teriak-teriak sambil mukulin mulut ala orang Indian. Wakakakakak.. itu dulu becadaan favoritnya dia kalo kami lagi muak rapat koordinasi redaksi.

Ketika mendengarkan alunan musik latin yang tadi saya bilang, ada satu hal yang langsung terbayang di otak. Kalo ade saya mencoba menebak sepertinya dia akan langsung menjawabnya : “Halah, palingan Spanish Eyes-nya Backstreet Boys”. Hihihi saya emang suka sekali dengan dua hal itu tapi yang saya maksud itu Shall We Dance. Pemain utamanya Jeniffer Lopez, Richard Gere, dan Susan Sarandon.

Filmnya itu bercerita tentang Gere yang berada dalam fase pertengahan usia kehidupan. Soalnya di situ digambarkan kalau Gere berusia sekitar 40-an. Punya istri, dua anak, dan pekerjaan yang mapan namun membosankan. Dia tertarik mencoba sesuatu yang baru dalam kehidupannya yaitu dunia tarian. Awalnya sih memang gara-gara tersepona sama Lopez yang lagi menari di suatu jendela apartemen. Karena tiap malem selalu melihat pemandangan itu, jadi deh dia terjun jadi penari. Bahkan jadi penari profesional. Ga ada unsure selingkuh-selingkuhan karena Gere sadar banget bahwa yang dijatuhi cinta itu ternyata bukan Lopez-nya tapi dunia tarian.

Hmmm… keren gw langsung kebayang adegan Paso Doble-nya si botak dan si bohay di Shall We Dance pas dengerin Mantovani Orchestra maiinin Spanish Gypsy Dance - Paso Doble. Lagunya ceria dan gampang membuat pendengarnya merasa semangat. Entah semangat mau perang atau semangat makan. Itu tergantung orangnya sih. Hahaha…

Ada juga lagu yang cocok banget buat back sound adegan sadis. Judulnya ga tau tapi musiknya pake flamenco guitar. Diambil dari Spanish Guitar for The Mafia. Hahaha ternyata emanga mafioso sekali… Haduh jadi makin pengen ke Argentina…

Baiklah sekarang mari dengerin lagi tiga lagu favorit saya : “Astor Piazzolla - Las Cuatros Estaciones (Best of Tango Argentino)”, “Issac Albeniz - Tango (Spanish guitar), dan “Folk Music - Traditional Italian Tango”. Baillamos un vals! Mari menari…

Wednesday, July 14, 2010

Obrigado!



Bukan! Saya sedang tidak berbicara tentang teman SMP saya duli di Slamet Riyadi Jakarta. Hehehe.. Ini melainkan tentang Tanah Air Beta. Film terakhir Ari Sihasale dan istrinya, Nia Sihasale Zulkarnaen yang dirilis sekitar pertengahan Juni lalu. Judulnya diambil dari penggalan lagu Indonesia Pusaka. Font tulisannya Indonesia sekali. Merah dan putih. Btw, obrigado itu bahasa timor yang artinya terimakasih. Kata-kata ini banyak muncul dalam dialog makanya terngiang-ngiang terus sampai sekarang


Tanah Air Beta dan Tatiana

Filmnya dimulai dengan adegan pengungsian besar-besaran gara-gara Referendum. Sebagain warga memilih tinggal di wilayah Republik Indonesia dan sebagaian ke Republik Demokratik Timor Leste. Beberapa dari antara mereka ada seorang perempuan bernama Tatiana (diperankan oleh si sosialita cantik Alexandra Gottardo) dan anak perempuan berusia 10 tahun (Griffit Patricia). Mereka memilih tinggal di Indonesia namun sayangnya terpaksa meninggalkan Mauro (Marcel Raymond), kakak Merry, di rumah sang paman yang lebih memilih Timor Leste.

Sebagai ibu muda yang juga telah kehilangan suaminya, Tatiana berusaha keras untuk bertemu kembali dengan anak pertamanya. Berkali-kali dia datangan ke posko relawan di Mota ‘Ain agar bisa mengirim pesan kepada anaknya melalui para relawan (Lukman Sardi lhoooo….hihihi…cling-cling.. tapi dia cuman main figuran aja L ). Tatiana hanyalah satu dari ribuan orang yang berusaha berhubungan kembali dengan sanak keluarga yang terpisah gara-gara Habibie (hehehe…referendum kan keputusannya professor salah arah yang satu itu). Selain itu juga ada Abu Bakar (Asrul Dahlan). Dia mati-matian ingin bertemu dengan istrinya. Abu Bakar ini orangnya gokil buanget! Dia jadi penggembira suasana di sepanjang jalannya film. Akalnya panjang cenderung nyeleh tapi pede. Misalnya aja walau ga bisa baca tulis, dia kirim pesan nyentrik pake puisi dan lagu khas Timor lewat recorder relawan. Tapi saking panjangnya si relawan kabur di tengah pesan. Ada lagi yang duduls dari Abu. Waktu (stasiun pengisian bahan bakar umum) SPBU melarang pembelian bensin dengan jerigen tuh. Eh Abu ga kehabisan akal. Dia ngerubah tangki bensin motornya jadi segede jerigen. Wuahahahaha… bisa aja dah. Idenya diikuti orang lain. Warga sana jadi tetep bisa jualan bensin deh.

Dalam kesehariaannya Tatiana bekerja sebagi guru. Gilingan serius Alexandra beda banget dah di sini. Mungkin karena sudah terbiasa melihat dia dalam gaya hidup yang cosmopolitan sekali, saya jadi terkagum. Di sini dia tampil dekil dan kumuh namun tidak menyurutkan kecantikannya sama sekali. Tatiana mengajar sekitar 20 orang anak. Dua di antaranya Merry dan Carlo (Yehuda Rumbini). Musuh bebuyutan yang sering banget berantem. Carlo emang bandel namun menganggap Tatiana, Merry, dan Abubakar sebagai keluarganya sendiri. Maklum, dia yatim piatu. Bapaknya tentara. Tewas ketika bertugas. Sang mama meninggal karena tuberculosis.

Singkat cerita, Mauro sakit hati. Dia menanggap Tatiana sengaja meninggalkan dia di Timor Leste. Melaui relawan Mauro menitip pesan hanya ingin menemui Merry saja di Jembatan Air Mata. Hehehe namanya memang begitu karena di jembatan itulah para keluarga yang terpisah bisa saling bertemu. Di sana sarat dengan air mata akibat keputusan pemerintah Timor Leste untuk memerdekakan diri dari Indonesia.
Merry yang marah sekaligus kangen banget sama kakaknya nekat memutuskan pergi ke perbatasan dengan perbekalan seadanya. Lengkap dengan hadiah kaos oblong yang dibelinya dari Koh Ipin (Robby Tumewu) dan Cik Irene (Thesa Kaunang). Hihihi baru kali ini ngeliat orang Cina rela menjual barang dagangan seharga Rp50.000,00 hanya dengan Rp5.000,00. Udah gitu ngasih coklat sama air mineral pula. Jarang-jarang dah.

Duit Merry emang terbatas banget. Dia bahkan cuma bisa naik angkutan sampai setengah perjalanan saja. Sisanya dihabiskan dengan berjalan kaki. Padahal perjalanan dengan motor bisa memakan waktu 8 jam. Tatiana dan Abubakar yang panik minta tolong Carlo menyusul Merry sampai dapat. Carlo hebat lho! Perpaduan antara rasa bersalah, takut akan omelan Abubakar, dan rasa khawatir menjadi kekuatan buat Carlo menyusul Merry. Sebelumnya kemarahan Merry memuncak karena Carlo ‘nyemplungin’ harmonika kesayanganya ke danau. Padahal itu harmonika pemberian Mauro.

Carlo akhirnya menemukan Merry di perjalanan menuju Atambua. Walau sempat ngomel-ngomel, Carlo bertanggung jawab sekali sama Merry. Tingkah laku Carlo inilah yang jadi satu-satunya aksi heroik dalam film. Mulai dari membawa Merry yang pingsan ke puskesmas terdekat (yang jaraknya tidak dekat itu), nyolong air minum dan ayam taruhan, cuci piring biar bisa dapet makan dari warung, sampai memastikan Merry mau berjuang bertemu dengan kakaknya.

Selanjutnya garing. Pertemuan Merry dan Mauro dibuat-buat banget. Cara mereka bernyanyi “Kasih Ibu kepada Beta” waktu saling mencari satu sama lain terasa tidak natural sekali. Ga lama kemudian datanglah Abubakar dan Tatiana. Mereka saling senyum dan menangis bersama. Abis deh…

Tanah Air Beta dan Balibo
Entah karena dipanasi oleh film Balibo yang sempat membuat heboh orang Indonesia atau bukan, Ari Sihasale bilang udah punya ide bikin Tanah Air Beta sejak tiga tahun lalu. Tapi memang baru tahun ini kesampaian dirilis. Ga tau juga. Yang jelas Tanah Air Beta sama-sama mengambil setting tempat di daerah Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste. Timor Lorosae Cuman film yang satu ini jauh banget dari tema politik seperti di Balibo. Ga ada darah-darahan, tembak-tembakan, tending-tendangan, apalagi konspirasi militer. Sementara Balibo…beeuuhhhh… Mengungkap sisi lain suasana di Timor-Timor sih. Sayanya aja yang ga kuat menyaksikan teman-teman wartawan dibunuh dengan cara gitu.

Tanah Air Beta itu film keluarga banget. Tema yang diusung kekeluargaan. Setipe sama King, Denias, Garuda di Dadaku. Sangat ringan tapi ga tertalu garing. Ya walau endingnya tetep ga asik. Cocok juga lah untuk anak-anak (ah tapi sepertinya anak sekarang ga doyan film kaya gini)
Saya sendiri emang suka film Indonesia macam ini. Mungkin ada yang beranggapan saya childish, sok nasionalis, atau kampring. Hehehe..tapi bener saya lebih suka menyimak film macam ini dibandingkan Twilight Saga dan teman-temannya. Apalagi film pocong-pocongan dan paha-pahaan. Kagak dah. Mending nonton film anak-anak dibanding ABeGe labil. Hahay.. ini menurut saya yaa.

Eh sebenernya agak-agak kagum juga sih. Film ini dirilis sekitar sebulan lalu. Kemarin (12/7) pas saya menonton di Studio 21-nya Ambarukmo Plaza Jogja ternyata antusiasnya masih tinggi. Padahal sekarang kan liburan sekolah sudah habis. Setidaknya setengah isi bioskop terisi penuh. Kalau saya tidak salah lihat, beberapa dari antara para penonton memiliki ciri fisik dan intonasi bicara yang sama dengan Tatiana, Abubakar, Merry, dan Carlo.

Jadi inget bentar lagi 17 Agustus. Indonesiaku akan berusia 65 tahun. Hehehe walau penggemar berat Argentina, saya ini Indonesia bangetlah. Masih bangga bilang Garuda di Dadaku (dan Albiceleste di punggungku :P ).

Pemain Spanyol Jadi Milyuner

Beberapa hari lalu ada pembicaraan yang cukup bikin penasaran pas nonton final Piala Dunia Senin (12/7) lalu. Kami yang ada di sana penasaran kira-kira pemain Spanyol dikasih apaan ya sama negaranya. Pasti mereka kebanjiran pujian dan hadiah tentunya. Secara gitu, pertama kalinya bisa memboyong pulang trofi yang indah itu. Setelah 13 kali ikut piala dunia…
Hari selasa (13/7) saya dapat jawabannya di Koran Kedaulatan Rakyat. Secara umum ini dia ringkasannya :

ALOKASI HADIAH DARI FIFA
Juara : 30 Juta AS
Runner Up : 24 Juta AS
Semifinal : 20 Juta AS
Perempatfinalis : 18 Juta AS
Putaran Kedua : 9 Juta AS
Putara Pertama : 8 Juta AS

Ini baru jatah dari FIFA. Jumlah hadiah yang sekarang ternyata 60% lebih tinggi dari PD 2006. FIFA juga membayar sekitar 40 juta dollas AS kepada klub yang ngasih izin pemainnya main di PD. Ga kebayang berapa ya total duit yang masuk ke kantong FIFA selama penyelenggaraan kompetisi selama sebulan penuh kemarin.

Nah, sekarang kita omongin Spanyol lagi. Dari FIFA para Matador dapet 30 Juta AS. Jauh sebelum perhelatan final kemarin, Asosiasi Sepakbola Spayol sih janjiin mau ngasih 600 ribu euro ke setiap pemainnya. Itu setara dengan USD758 ribu atau sekitar RP7.6 miliar. Belum pasti anggaran Negara udah disiapin buat jadi upeti ke semua personil. Ditambah sponsor, handai taulan, dan orang-orang yang freak sama La Furia Roja lainnya. Hmmmm…pada jadi miliuener mendadak dah tuh.

Saya ga tahu sih David Villa dan Iker Cassilas dapet tambahan berapa lagi. Villa kan berhak bawa pulang Bronze Ball sedangkan Golden Glove jatuh dengan indah ke tangan Cassilas. Eiya gawangnya Iker hanya kebobolan dua kali ternyata sepanjang perjalanan yang luar biasa kemarin. Sayang juga sih Villa ga maksa terus main sampai abis pas final kemarin. Sapa tau bisa nambah satu gol lagi. Biar sepatu emas ga nangkring ke Mueller. Ah tapi itu semua udah mantap kok. Permainan cantik dan fair dapet ganjaran indahhh…. Juara dunia dan juara Eropa. Empat jempol.




Selamat berpesta pora Espana!

Saved by Burjo

Burjo itu kependekan dari Bubur Kacang Ijo. Kalau di Bandung, saya menyebutnya BKI. Selama musim Piala Dunia 2010 lalu benar-benar terselamatkan oleh warung burjo. Hehehe soalnya ga punya tipi. Jadilah sering banget malem-malem atau pagi-pagi buta hinggap di burjo timur dan burjo barat. Ga tau namanya sih jadinya nyebutnya burjo timur dan burjo barat aja. :P Agak-agak parno juga memang soalnya di Jogja lagi rame kasus bacok-membacok. Sebenernya TKP lebih banyak di daerah Condongcatur sih tapi tetep aja parno. Eike kan stranger. Beautiful stranger! hihiy..

Kegelisahan ga punya tipi mulai kerasa waktu tim kesayangan saya, Argentina, melawan Nigeria. Lupa tanggalnya. Tapi sepertinya Sabtu (12/6) deh. Berarti pas ulang taun teman saya, Anggi si Kereta Api. Hihihi ga nyambung. Waktu itu udah pasrah sih ga bisa nonton. Kebetulan waktu itu pas banget lagi urusin kosan baru (beuuhhh pamer….). Saya dan Ruben mondar-mandir dari Sekip-Sagan dari sejak pagi. Eh siang ding. Soalnya baru berangkat dari Solo itu jam 10-an.

Yang namanya jodoh emang ga kemana. Dari sejak kecil Argentina memang selalu lengket sama saya. Huahahaha… Malemnya Adi, pacarnya sepupu saya Uli, mengundang Ruben dan saya ke pesta barbeque di rumahnya. Ceritanya syukuran sidang tesisnya Adi. Gaya dia. Kecil-kecil udah S2. Bekal menghadapi Tulang Uli nih :P. Uh senangnya puas makan sambil mantengin Messi and the gank. Pertandingan Argentina vs Korea Selatan juga saya pantengin di rumahnya Adi. Hihihi…pesta kacang dan jambu air karena Higuain pesta gol ke gawangnya Won Bin (Lupa sapa nama kipernya Korsel ^^).

Nah selanjutnya saya menikmati euphoria pesta bola di burjo dekat kosan. Enak juga. Suasananya hangat. Saya bisa nonton dengan tenang tanpa ada peraaan parno. Warga sini ramah-ramah. Sesekali berdiskusi sok jadi komentator namun langsung berubah jadi dementor ketika Argentina digilas 0-4 sama Jerman pada babak perempat final. Mimpi buruuuuukkkkkkkk!!!!!!! Ga kuat ngeliat sampai abis. Begitu Jerman jebol gawang lewat kakinya Klose yang minta dipotong itu, saya langsung balik kanan. Muka mesem banget. Orang-orang yang mengajak omong langsung ketuleran aura jelek saya. Pertandingan Argentina paling jelek yang pernah saya lihat. Emosi jiwa banget ngeliat Angela Merkel jingkrak-jingkrak di pinggir lapangan. Sempet kesel kenapa Cristinan Krecher kagak keluar dari Pink House dan terbang ke Afrika Selatan. Ga support total nih. Merkel aja walau masih ikut KTT G20 masih tetep bisa kabur-kaburan. Ah lupakan lupakan.. Cape nyalahin Maradona, menyangsiin Messi yang mandul abis.

Suasana burjo baru mulai terasa indah ketika semifinal. Terutama ketika Spanyol hancurin jalannya Jerman je final. Lebih dari sekedar dendamnya Argentina, saya benar-benar terpesona dengan permainan pasukannya Cassilas. Cantik banget. Sudah lama saya tidak menemukan ritme secantik itu dari tim tango. Jauh dari kata kasar. Sebenernya udah terasa waktu Spanyol-Portugal. Maaf adikku sayang kalau CR7-mu harus pulang duluan gara-gara Spanyol. Performa Spayol kontras sama pas awal-awal penyisihan. Ga heran deh Sara Carbonero marah-marahin Iker Cassilas pas wawancarain pacarnya pas kalah 0-1 sama Swiss.

Uhhh seneng banget deh liat ekspresinya Podolski dan Scweney. Ga tau napa saya sebel banget sama mereka berdua. Coba Mueller ikut main. Dia yang kebanyakan dosa sehingga ga boleh ikut main pas Jerman-Spanyol terpukul juga dari pinggir lapangan. Tapi pemain Spanyol sopan-sopan! Kami yang masih mantengin selebrasi kemenangan Spanyol heran juga lihat Puyol (bukan Paul yaaaa….) dan teman-teman yang berusaha menghibur pemain Jerman yang desperado fortesimo itu. Kegembiraan Spanyol masuk final ga terlalu kental deh.

Pas perebutan tempat ketiga antara Jerman – Uruguay, burjo tetap jadi andalan.Tapi sekarang di Burjo Timur. Ga tahan lama juga sih. Permainannya membosankan juga. Jerman ga terlalu bergairah main bolanya. Saya tahu hasil 3 – 2 dari KR. Kasian juga Diego Forlan. Fidel Castro pasti makin cemberut berat. All Europe in 1st until 3rd place. Kurang seru juga.

Ah tapi ga ada Agentina, belain penjajahnya aja. Hahaha… Espanyola! Ada yang seru juga waktu nonton final. Jadi di Burjo Barat itu kan sebrangan sama warnet. Ternyata semua yang nonton di Burjo itu pendukung Spanyol sedangkan di warnet itu kubu Belanda. Ketauan pas Sneijer, Robben, dkk mo ngejebol gawang Cassilas eh sebelah yang teriak heboh. Sementara pas Villa, Iniesta, dan belakangan Torres mau beraksi baru Burjo yang rame. Begitu Iniesta ngegol warnet senyu senyap. Ga lama kemudian bubar jalan deh. Kita yang di burjo masih tetap sorak-sorai bergembira bahkan sampe pesta kembang apinya bubar. Keren juga tuh Soccer City malam itu. Mantap!!! 100% juga buat Paul the Octopus. Hihihihi… EH tapi gw ga kok ga ngeh ya kalo Iker nyium Sara pas wawancara. Liat di Youtube deh. Ato di sini.Ih romantis banget deh mereka berdua. Sara tetep bisa liputan sambil ngedukung pacar. Trus bisa ngedampingin Iker di saat-saat bahagia pula. Viva Espana…! Viva Burjo…! Wahahahaha… :D



Wednesday, July 7, 2010

Juli 2010

The is really running out so quickly. Ga kerasa sekarang udah memasuki bulan ketiga aja dalam hari-hari petualang gw di Jogja. Euforia jalan-jalan nyaris habis. Sebenernya malah masuk dalam masa-masa bosan. Celaan terus berdatangan mengenai keputusan ngungsi ke kota Sri Sultan Hamengkubowono.

Ya ya ya ya...
Ada waktunya untuk menarik diri.
Waktu untuk berhenti. Untuk berdoa. Dan untuk beristirahat.

Beristirahat di usia semuda gw?
Hey, ini dunia saya. Kalian ga tau apa sih yang sebenernya saya alami saat ini.
Cape banget menjadi apa yang kalian mau padahal itu bukan panggilan saya.
Panggilan jiwa saya.

Rasanya cape mengikuti apa yang kalian mau. Terserah apa kata kalian, sekalipun kalian terus berkata : dasar kamu bodoh, egois, dan kampungan!

Aku begitu menyayangi kalian sampai-sampai tidak sampai hati berkonflik langsung dengan kalian. Lebih baik saya menarik diri. Sendiri. Toh selama ini saya sudah biasa hidup sendiri. Cukup ada Tuhanku saja itu sudah cukup..

-Pondok Cabe, Jogja-