Teorinya, ketika seseorang berharap dengan penuh keyakinan maka harapannya akan terkabul. Namun teori ini jelas-jelas ga berlaku buat Ma Uju. Bertahun-tahun dia menantikan saat-saat seperti ini dan lantunan doa nan tulus menutupi kisah kami hari itu. Uciem, Tegil, Reni, dan gw pun bisa tersenyum penuh arti ketika kembali ke Bandung. Tulisan ini ga pernah naik di koran gw tapi slalu keinget jelas di otak gw. Satu peristiwa yang buat gw berguman mantap : "Belom waktunya gw berhenti jadi kuli tinta."
Di sela-sela gelaran Pengobatan Gratis Telkomsel di Desa Sinumbra Ciwideg Kab
Usai diperiksa gula darahnya, Ma Uju melangkah ke ruang operasi Pengobata Gratis. Ia tidak lagi dapat berdiri tegak. Badannya sudah bungkuk nyaris 90o. Saat menuggu giliran, Ma Uju berjongkok di pojokan tumpukan barang-barang. Lembaran daun sirih yang sudah diambil oleh tim dokter membuat lukanya ternganga lebar. Lalat pun mencoba mendekati luka seluas 15 cm di daging yang sudah terlihat bagian tulangnya itu.
Entah karena rasa sakit atau merasa kesepian, Ma Uju menopang kepalanya dengan tangan keriputnya. Rata-rata pasien lain memang datang bersama sanak saudara. Ketika disapa, Ma Uju sempat terdiam sejenak. Butiran air mata nyaris keluar dari matanya namun kemudian ia tersenyum lalu mengeluarkan suaranya dalam bahasa sunda yang fasih.
Dia bercerita tinggal di sebuah rumah panggung berukuran 4x4 meter yang terletak di Perkebunan Sukaati, Desa Cipelah, Kec Ciwidey, Kab Bandung. Sejak anak bungsunya menikah, Ma Uju hidup seorang diri hanya ditemani dua ekor ayam yang ada di bagian bawah rumah panggungnya.
Suatu hari ketika masih bekerja di perkebunan, dia tertusuk batang tanaman teh. Luka kecil itu tidak sembuh-sembuh juga walaupun sudah diberi berbagai ramuan tradisional. Tiga tahun kemudian, luka itu semakin besar.
“Emak sempat ke dokter di
Kala itu dokter berkata luka di kaki Ma Uju terinfeksi jamur. Ma Uju tidak dapat berobat secara rutin karena tidak punya penghasilan atau simpanan apapun sejak pensiun dari perkebunan pada 1980-an. Suaminya pun sudah meninggal sejak anak terakhirnya duduk di kelas 2 SD.
“Tiga dari empat anak saya sudah pensiun dari perkebunan juga. Jadinya Cuma ngasih duit seadanya. Paling hanya Rp5.000-Rp15.000 kalau datang. Itu pun jarang,” tuturnya.
Untuk makan sehari-hari, Ma Uju mengandalkan tetangga sekitar.
“Kata Pak RT, nenek-nenek ga dapet jatah BLT (Bantuan Langsung Tunai). Tapi kemarin Pak RT bilang jatah BLT dibagi-bagi juga buat orang jompo. Emak dapet Rp15.000 dua kali tapi langsung habis buat bayar listrik,” cerita nenek yang hanya memiliki tiga lampu berukuran 5 watt di rumahnya.
Minggu lalu, keberuntungan akhirnya bersedia mendatangi Obin. Bunda Obin dari Obin House Foundation yang menjadi penggerak pengobatan gratis ini langsung terketuk hatinya dan bersedia menanggung pengobatan. Pihak Koppasus dan tim dokter dari puskesmas setempat bersedia mengatakan bersedia menjadi penanggungjawab.
“Alhamdulillah. Haturnuhun sadayanya,” tutur Ma Uju dan langsung menyalami beberapa orang yang ada di ruang operasi sambil membacakan doa yang panjang kepada setiap orang yang disalaminya.
makasih doanya, mak! may God bless you till the rest.. amen.
No comments:
Post a Comment