Wednesday, January 21, 2009

[Bukan] Hari yang Cerah

Pagi ini mentari bersinar cerah. Dia sudah menggoda gw melalui celah di bagian tengah gorden kamar kosan. Tumben-tumben sekali hari ini gw ga kuat melawan bising kendaraan yang melintas di Jalan Gegerkalong Girang. Itung-itung belajar ngebuktiin bisa bangun pagi, gw beranjak dari double springbed yang spreinya sudah harus diganti itu.

Biar ada bedanya hari ini dengan hari lainnya, gw mencoba lakuin sesuatu yang ga biasa banget. Rendem panci rice cooker, masak aer panas, bikin teh manis dua gelas, kemudian sedikit mendumel liat acara tipi. Malesnya liat para ABG labil yang berteriak-teriak menyaksikan selebriti yang gw ga tau sapa namanya di acara Inbox SCTV.

Jam 10 lewat akhirnya nemuin Ruang Rapim di Rektorat ITB. Jam 11 nangkring di Gedung Indonesia Menggugat. Berpikir jam 14 bisa ke kantor lalu pulang ke kosan sebelum 20.00 WIB. Hari yang indah, pikir gw sambil tersenyum lebar tapi ga mirip kuda.

Tapi ternyata gedung bersejarah yang akrab juga disebut Landraat itu masih saja membuat gw betah nangkring sampai berjam-jam. Di sana ada teh poci yang menemani perbincangan dengan Reni dan Yulvi. Menyusul kemudian Kang Anwar yang datang terlambat.

Pembicaraan ngalor-ngidul. Reni berbicara tentang kewajiban menyetor berita ke Republika.com. Yulvi menimpali soal betapa berakarnya dia di dunia pendidikan Bandung dan ingin mencoba rasa di pulau lain. Sesekali beralih tentang alasan mengapa seseorang bisa begitu drop atau justru melejit pesat ketika berada di sebuah desk liputan. Yulvi Jon yang masih saja terlihat sumringah berbinar-binar mencari dukungan gw ketika berkata seseorang di lapangan bisa membuat wartawan semangat liputan.

SMS di hape simpati gw yang rusak itu menyela tawa. Siyal! Awalnya gw cuman pengen ngintip isi sms dari seorang rekan saya. Kirain pengganti gw di ekonomi itu ingin bertanya nomer telpon orang tapi ternyata…

Pediiihhhhh banget. Saya harus kehilangan satu orang lagi di keluarga Negara Kurawa. Perbincangan Reni dan Yulvi tentang masalah yang sempat mencuat di Kompas udah kaga bisa masuk ke otak gw. Samar-samar gw hanya mengingat kalimat “Setiap media punya masalahnya masing-masing. Tapi kalau udah berbicara masalah psikologis yang terluka, susah banget disembuhkan,”

Duh langit rasanya tiba-tiba jadi gelap. Gw masih aja susah melepas kepergian teman seperjuangan. Luka ketika melihat Lentera Merah kami dipangkas tanpa alasan yang logis itu aja belum kering. Masalahnya luka itu kembali terkoyak ketika gw dan teman-teman berdiskusi dengan penguasa kepegawaian yang terhormat. Penghancur mimpi, harapan, dan persahabatan yang gw pupuk selama tiga tahun terakhir. Sekarang luka semakin ternganga ketika formasi kami lumpuh lagi. Puas kalian semua!!!!!!! Ini kan yang kalian mau…

Satu per satu daun kembali meranggas

Asa pun lenyap tertiup angin yang panas

1 comment: