Thursday, February 26, 2009

Berharap Menjadi yang Terakhir

Selasa 240209


Rasa masih segar di ingatan waktu Jule, Mas Ono, dan saya berangkat penuh harapan menuju menuju Menara Kebon Sirih pada akhir Juni 2006. Semangat dan rasa kekeluargaan mulai terasa semakin kental ketika kami bergabung dengan teman-teman yang ternyata sudah berkumpul di sebuah ruangan. Mau Dibriefing sama Pemred, itu kata Kang Army. Di sana ada Ricky Susan dengan Kang Asep yang lebih mirip kaya bapak-anak, Asnil yang dandy, Ujang Marmuk dan Kang Nanang yang mungil minta dicuil-cuil, Kang Opik yang semi endut tp lucu, Tantan, Rudini, dan Toni yang sama-sama tidak terlalu banyak bicara. Satu lagi, sosok yang langsung menarik perhatian saya dengan gayanya yang belel dan lusuh. Hahaha… Kritis dan puitis. Itulah Annas NKH my beybeh poreper!

Bersama dengan beberapa jajaran pimpinan redaksi pusat serta Kang Army, Kang Wasis, dan Kang Faisal tercintah, kami menggodok tentang konsep couple SINDO Jabar yang siap terbit Juli 2006. Tercetuslah nama rubrik yang cukup aneh di telinga batak saya. Sebut saja Bentang, Pasisian sampai nama Seputar Cigabaya, Purwasuka, Cindrakusuma, dan lainnya. Walau masih awam dan ga terlalu ngerti, saya punya semangat tinggi untuk mengkuti setiap detik saat itu. Saya ga berhenti mencatat berbagi tips sebagai wartawan yang diharapkan Jakarta di sebuah kertas belel yang selalu saya simpan hingga sekarang. Akhirnya muncul juga konsep matang SINDO Edisi Jabar.

Harapan dan rasa cinta yang begitu luas membuat saya terus bangun setiap jatuh. Saya tahu masih punya banyak kekurangan tetapi bayangan Mas Teguh, dukungan Kang Udi, dan senyuman Kang Denimul selalu membuat saya semangat terus belajar menulis yang baik. Sesekali melirik tulisan ficer Kang Army yang kerasa banget soul-nya sambil sekadar melihat sejenak isi buku yang kerap dipromosiin Kang Army ketika bertandang ke Bandung.

Saya mencoba menutup mulut untuk ga mengeluh. Saya cinta banget sama koran ini. Saya marah melihat betapa pelitnya perusahaan ini tentang yang namanya kesejahteraan. Tapi satu hal yang saya sadar, saya belum memberikan yang terbaik. “Tunjukkan dulu kamu layak baru setelah kantor memberikan perhatian. Jangan belum apa-apa udah minta macem-macem. Itu namanya cengeng!” tegas Mas Faruq. Walau perempuan, saya ingin membuktikan kalo saya ga mau jadi orang yang cengeng.

Phupfffhhh….. satu tahun berlalu. Dua tahun pun lewat. Pemikiran “I’ll do anything for SIndo” selalu jadi biang masalah ketika saya berhadapan dengan keluarga dan kuliah. Saya memang ga bisa menjadi seperti Ujang yang masih menyisakan tenaga untuk menyelesaikan kuliah. Konsentrasi saya sepenuhnya untuk SIndo semata. Tutup mata dan telinga atas semua tawaran menggoda karena saya ingin melihat bagaimana “bayi” ini tumbuh, Namanya juga perempuan, saya sayang banget sama “bayi” Sindo. Ga peduli walau bayinya makin lama masih nyusahin dan nuntut macem-macem. Yahh, itulah cinta! Kecintaan terhadap sindo dan mimpi menjadi jurnalis yang punya arti membuat saya bertahan.

Senangnya hati ini melihat generasi-generasi baru berdatangan. Mereka melengkapi sisi-sisi tumpul. Mang Opik, Kang Iwa, Mas Eko, Evi Damayanti [senengnya akhirnya ada cewe di sindo], Raka, Kang Gin, lalu Kang Robby. Setelah itu munculah Young Generation Sindo. Sebagian memang akhirnya kena seleksi alam. Sisanya ada tenaga-tenaga fresh yang muda seperti Radi, Yenny, Andhini, Arif Gepeng, Irvan My beibs, Kang Kris, Mang Wisnoe…, Adi, Raden, Dede Ibin, Lukman, Benny, plus Mudasir.

Kang Yovan dan Kang Joni, para asisten redaktur nan ajaib itu serta Teh Wida menambah lengkap kemeriahan. Menyusul kemudian Trio Bali yang terdiri dari Ulum, Putu, dan Rohmat. Tuntutan memang banyak tapi rasa kekeluargaan yang ada didalam menjadi obat yang mujarab untuk hilangkan rasa kesal tentang ketidakjelasan di Sindo.

Tapi akhirnya suatu momentum melegitimasi ketidakjelasan abadi. Maaf akhirnya saya menambah luka bagi semuanya. Terutama bagi Kang Ogi sayangku cintaku. Harapan dan rasa cinta itu hancur berkeping-keping sejak penghujung tahun.

...

Maaf saya belum mampu menatap teman-teman semua untuk berpamitan. Seperti pesan Teh Wida, saya memang masih susah mengontrol emosi. Butuh waktu satu bulan bagi saya untuk menyiapkan diri berpamitan kepada Kang Ogi. Sampai Senin lalu saya masih ga kuat menatap mata dia yang telah jatuh bangun bersama saya di SINDO Jabar sejak Mei 2006 lalu. Seseorang yang jarang banget saya lihat sebagai bos karena hati ini telah lebih dulu melegitimasinya sebagai paket lengkap sahabat.

Maaf saya ga mau merusak tawa kalian semua. Senin malam itu hati saya tengah berada pada puncak kegelisahan. Saya sudah tidak bisa konsentrasi bekerja dan benar-benar terpuruk sejak awal Januari lalu. Tetapi lagi. Lagi, dan lagi, kehadiran kalian semua di Jalan Aceh No 62 selalu bisa membuat saya tersenyum. Saya ga ingin menghancurkan [sedikit] keceriaan dengan satu ucapan perpisahan lagi. Berkali-kali saya memandang mata Mang Wisnu tetapi berkali-kali juga mulut saya beku. Saya ga kuat melihat mata dimana saya selalu melihat keteduhan itu menjadi semakin suram. Ingin rasanya memeluk kalian semua tapi saya ga kuat untuk ngomong lagi. Lebih ga kuat lagi waktu Irvan meminta bantuan saya untuk meliput acara ekonomi yang ga bisa dia handle. Maaf beibs, maaf gw ga bisa lagi ngebantu lo bawa beban itu.

Maaf Kang Kris, saya ga berani membuka diri dalam percakapan kita via YM yang lebih sering saya invisible-kan itu. Radi, Arif, Dasir, Raka, Rudini, Opik, Iwa.. makasih banget buat semua dukungan kalian.

Kang Udi-ku & Kang Deni-ku.. makasih udah ngebimbing aku berubah dari nothing menjadi something. Semangat kalian selalu membuat aku berani bangun lagi setiap aku jatuh. Aku sayang banget kalian.

Maaf ya. Ternyata saya bukan perempuan super. Amunisi yang saya beli sendiri ini semakin sekarat. Di sisi lain ada tanggung jawab yang belum selesai di Jatinangor sana. Sudah waktunya menetapkan prioritas. Semoga kehilangan satu orang lagi bisa menjadi satu catatan untuk memperbaiki sistem. Saya benar-benar berharap menjadi yang terakhir pergi dari keluarga yg slalu bahagia walau di tengah krisis ini. Semoga saja.. Terimakasih ya semuanya.


Friends Forever

-evi panjaitan-

No comments:

Post a Comment