Tuesday, October 28, 2008

Surat Terbuka untuk AJI Indonesia


Salam,
Aku Jarar Siahaan. Pada 2000-2003 anggota AJI Medan. Aku mengundurkan diri kemudian.
Aku cuma wartawan kampungan [tinggal dan meliput di kampung -- Balige -- kota kecil di tepi Danau Toba]. Ilmuku cuma sampai SMA. Tak pernah kuliah ilmu jurnalistik, ilmu politik, ilmu antah-berantah seperti banyak wartawan Jakarta pelajari. Tapi aku paham "ilmu kebatinan" -- sesuatu yang membuatku patuh pada batinku, patuh pada hati nuraniku.
Dari AJI aku belajar banyak hal; terutama bahwa wartawan harus independen. Dan dari kakekku aku belajar lebih hebat dari situ; bahwa apapun profesi kita, jangan pernah membohongi hati nurani. Abang dan kakak di AJI Indonesia pasti tahu; sudah terlalu banyak wartawan Indonesia yang tak malu membohongi batinnya sendiri.
Setelah 12 tahun bekerja di media cetak, antara lain redaktur di Grup Jawa Pos di Medan, kini aku "bertobat". Aku muak melihat pers daerah; hampir semua tukang bohong.
Sejak 20 Maret lalu aku menjadi "pembantu" istriku mengurus jualannya di depan rumah kami; oli-campur becak dan voucher HP elektrik. Aku akan menghidupi kedua anakku dari berdagang. Aku tak mau lagi kehilangan anakku, seperti tujuh tahun lalu, atau mendengar lagi tuntutan cerai dari istriku gara-gara aku sibuk dengan idealisme -- sebab aku mematuhi kode etik AJI sepenuhnya. Jiwaku tetaplah jiwa wartawan; nafasku juga masih nafas AJI. Sebab itu kubuat blog berita independen BatakNews.
Aku menulis surat ini dengan maksud dua hal:
Kalau kawan-kawan AJI masih peduli bahwa wartawan harus independen, dukunglah aku. Bukan duitmu yang kuminta; bukan seminar-seminarmu atau proyek bukumu yang menghabiskan anggaran itu. Tapi beri aku dukungan moral, beri aku semangat. Cuma itu. Tapi jangan dukung aku kalau kau tidak tulus. Aku tak butuh basa-basi.
Jangan kalian "rusak" para jurnalis pemula dengan kampanye tolak-amplop. Yang harus dilakukan AJI adalah mendesak semua media agar menggaji wartawannya dengan layak. AJI harus berani menggalang semua wartawan untuk mogok kerja. Setelah itu terpenuhi, barulah "sikat" wartawan yang menerima amplop. Dan sebelum media memberi gaji layak, hentikan kampanye tolak-amplop. Jangan sampai ada [lagi] wartawan yang lugu mengorbankan anak-istrinya demi paham yang kalian ciptakan.
Abang dan kakak jangan dong berpura-pura buta; hampir semua koran daerah tak menggaji wartawannya dengan layak. Sebagian besar di bawah Rp 1 juta, itu pun cuma bagi wartawan yang bertugas di ibukota provinsi; sementara di kabupaten umumnya tidak digaji. Juga banyak media nasional yang tak menggaji wartawannya di daerah dengan layak. Aku mau bertanya: begitu banyak anggota AJI di seluruh provinsi dan bekerja di koran lokal, apa penjelasan yang masuk akal bahwa mereka tidak terima amplop? Oh Tuhan, alangkah kita -- kau dan aku -- sudah lama berbohong.
Pada tengah malam itu, 20 Maret dini hari, air mataku menetes di depan komputer; melihat semua tulisan yang akan segera kuungkap ke publik.
Salamku untuk semua anggota AJI; jangan bohongi nuranimu.
Jarar Siahaan
Jl. SM. Raja 212 Balige, Kabupaten Tobasa, Sumut

No comments:

Post a Comment